Di tengah pekikan takbir dan lantunan ayat suci, lahirlah semangat kemerdekaan yang membara di dada kaum santri. Sejak awal, santri bukan hanya sekadar pelajar yang mendalami ilmu agama di pondok-pondok pesantren, tetapi juga pejuang yang setia menjaga martabat bangsa. Sejarah telah mencatat, saat bangsa ini terjajah, para santri tampil di garda terdepan, memanggul senjata, dan memimpin doa untuk kemerdekaan tanah air.
Kemerdekaan bagi kaum santri adalah anugerah yang dipenuhi oleh pengorbanan, doa, dan ikhtiar tanpa henti. Sejarah perlawanan santri dari masa penjajahan hingga revolusi kemerdekaan membuktikan bahwa perjuangan mereka bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga perjuangan batin untuk memerdekakan diri dari segala bentuk penindasan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Kini, di usia kemerdekaan yang semakin dewasa, kaum santri terus melanjutkan perjuangan dengan mengisi kemerdekaan ini melalui pendidikan, dakwah, dan pengabdian kepada masyarakat. Mereka adalah generasi yang tak pernah lelah untuk terus belajar, berinovasi, dan berkarya demi kemajuan bangsa. Santri memahami bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi awal dari tanggung jawab besar untuk menjaga dan mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat bagi umat dan negara.
Dengan semangat nasionalisme yang berakar dari ajaran Islam, santri senantiasa berikhtiar untuk menjaga keutuhan bangsa, merawat persatuan, dan melanjutkan cita-cita para pendahulu yang telah gugur di medan juang. Mereka paham, bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika seluruh anak bangsa bisa merasakan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Peringatan Hari Kemerdekaan bukanlah sekadar seremonial tahunan yang hampa makna. Jangan sampai kita terjebak dalam gegap gempita perayaan proklamasi, sementara rakyat masih menanggung beban berat dalam kehidupan sehari-hari.
Bangsa kita masih menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, korupsi, politik identitas, dan defisit moral pemimpin. Ironisnya, fenomena yang tampak hari ini adalah sikap pemerintah yang cenderung kurang peduli terhadap penderitaan rakyat. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan pekerjaan menyempit, dan suara masyarakat kecil terabaikan, rakyat merasakan jurang yang semakin lebar antara kebijakan pemerintah dan realitas kehidupan di bawah. Di sinilah, tugas santri bukan hanya belajar dan mengajar, tetapi juga menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun dan beradab.
Pemangkasan anggaran besar-besaran sebesar Rp306 triliun sesuai Presidential Instruction No. 1 Tahun 2025, yang berdampak luas pada sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur, bahkan proyek Ibu Kota Nusantara terancam mangkrak akibat efisiensi ini.
Akibat pemangkasan ini, terjadi protes besar dari mahasiswa, dalam gerakan “Indonesia Gelap”, karena anggaran untuk pendidikan tinggi dipotong drastis demi dialihkan ke program seperti makan bergizi gratis. Ini berdampak pada peluang beasiswa, infrastruktur kampus, dan masa depan generasi muda.
Selain itu, muncul fenomena kebijakan “mencla-mencle”—putusan berubah arah tiba-tiba—seperti pembatalan subsidi listrik 50% yang diganti subsidi upah, sampai kebijakan ekspor beras yang sempat ditolak kemudian direvisi, menunjukkan lemahnya perencanaan dan komunikasi publik yang kurang matang.
Di level lokal pun, misalnya di Pati, masyarakat bereaksi keras terhadap usulan kenaikan pajak properti hingga 250%, yang memicu demonstrasi besar hingga 100 ribu orang turun ke jalan. Ini menandakan letupan ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan tanpa kajian mendalam dan partisipasi warga.
Dalam situasi seperti ini, santri sebagai pewaris perjuangan ulama memiliki kewajiban moral untuk menjaga agar amanah kemerdekaan tidak ternodai. Peran santri tidak hanya sebatas mengaji dan mengajar, tetapi juga mengawal kebijakan publik dengan menyuarakan aspirasi rakyat secara santun, argumentatif, dan berbasis ilmu.
Santri perlu mendorong pemerintah agar lebih rasional dalam membuat keputusan: berpijak pada data, mempertimbangkan dampak sosial, serta melibatkan partisipasi masyarakat luas. Amanah kemerdekaan tidak boleh berhenti pada kebebasan politik semata, melainkan harus terwujud dalam kesejahteraan, keadilan, dan keberpihakan nyata kepada rakyat kecil.
Seperti yang selalu ditekankan para ulama, kemerdekaan adalah titipan Allah yang harus dijaga. Maka kaum santri siap meneruskan estafet perjuangan ini, memastikan bahwa semangat kemerdekaan tidak sekadar romantisme masa lalu, tetapi benar-benar hadir dalam keseharian bangsa Indonesia hari ini dan di masa depan.
Discussion about this post