“Sebagai orang Islam di Indonesia, kita harus tahu cara menanam kelapa, bukan menanam kurma.”
—Habib Luthfi bin Yahya
Bagaimanakah memahami penyebaran agama Islam? Bagaimanakah para aktor agama mentransmisikan ajaran agamanya? Mengapa banyak pelbagai bentuk praktik keagamaan dalam umat Islam? Menjawab pertanyaan ini kiranya perlu memahami apa yang dimaksud otoritas religius dalam cara lain memahami Islam sebagai realitas sosiologis yang terus berlanjut dalam ruang dan tempat berbeda-beda sepanjang sejarah rute perjalannnya. Oleh karena itu, menarik kiranya memahami terlebih dahulu bagaimana Ismail Fajrie Alatas mengadopsi otoritas yang dimaksud Hanna Arendt.
Filsuf kondang perempuan itu mendefinisikan otoritas sebagai relasi herarkis yang menghubungkan sekelompok orang dengan masa lampau yang mereka anggap fondasional, sehingga sosok yang memiliki otoritas itu dipercaya memiliki kapasitas untuk menyampaikan dan mentransmisikan masa lampau tersebut sebagai suatu pranata, model, uswah, atau petunjuk untuk masa kini.
Namun perlu dicatat bahwa otoritas “tidak bertumpu pada nalar publik atau kuasa pemimpin,” melainkan pada pengakuan terhadap hierarkis yang “dianggap benar dan absah” oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Nah, dalam memahami bagaimana Islam menyebar ke seluruh penghujung dunia, bagaimana para aktor agama memainkan peranannya dalam mentransmisikan ajaran yang fondasional, yaitu masa lampau kenabian, Alatas mengusulkan perlunya Islam dilihat dari perspektif realitas sosiologis, demikian pusat perhatian buku What Is Religious Authority? ini.
Ketika kita hendak memahami Islam sebagai realitas sosiologis, maka pertanyaan selanjutnya ialah alat analisis apa yang dapat digunakan untuk memahami Islam sebagai realitas sosialogis tanpa menganggapnya terlepas dari politik, budaya, infrastruktur, dan kerja-kerja yang menghasilkannya?
Pertama, kita harus memahami tiga unsur pokok sebagai bagian tak terpisahkan dari otoritas: imaji tentang (dan hubungan dengan) fondasi temporal, kapasitas untuk mentransformasikan fondasi sebagai pranata, serta kemampuan untuk mendorong kepatuhan tanpa paksaan.
Kedua, kita harus memahami hubungan segitiga antara sunnah, penghubung, dan jamaah sebagai cara lain memahami penyebaran Islam. Sebab, ketiganya saling membentuk secara kontingen. Jadi, uraian otoritas di atas dan unsur lain dari otoritas ini secara konkret dapat dipahami melalui konsep sunnah, penghubung, dan jamaah sebagai kategori analitis. Demikian Alatas meracik tawaran metodologisnya.
Berdasarkan tiga unsur pokok otoritas ini kemudian kita dapat menyorot lebih jauh berkaitan dengan jaringan, relasionalitas, dan kinerja yang membentuk otoritas dan komunitas religius dalam keagamaan umat Islam. Masuk pada tingkatan ini perhatian kita sebagai peneliti dapat menukik lebih jauh ke dalam sistem labor (kerja/kinerja), politik, dan infrastruktuk yang membentuk semua itu.
Gambaran konsep kunci umum di atas merupakan bekal metodologis yang Alatas tawarkan dalam menelusuri pergerakan dan kinerja para Wali dan Ulama Bâ ‘Alawi dari lembah Hadramaut, Yaman, ke Jawa, Indonesia, sejak abad ke-18 hingga saat ini. Sebagai keturunan Nabi Muhammad, kaum Bâ ‘Alawi menyebarkan ajaran Nabi dengan versi dan artikulasi sunnah yang diyakininya.
Para aktor itu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan ajaran Nabi beserta perwujudan sosialnya sebagai sunnah. Namun dalam perjalannnya para aktor satu dengan aktor lainnya terkadang saling bersaing dari trah keislaman dan silsilah intelektual lainnya. Itulah yang dimaksud artikulasi sunnah yang dalam perwujudannya itu terkadang berbeda-beda pada setiap rute perjalanan sejarahnya.
Buku ini berargumen bahwa otoritas para pemuka agam Islam didasarkan pada pengakuan terhadap hubungan mereka dengan masa lampau kenabian dan bergantung pada relasi hierarkis yang memungkinkan mereka mengartikulasikan ajaran Nbai kepada yang lain tanpa paksaan.
Artinya, pembentukan otoritas memerlukan kerja-kerja berkelanjutan untuk memproduksi, mereproduksi, dan merawat relasi tersebut. Suatu relasi merupakan capaian, hasil dari kinerja yang bergantung pada banyak hal (kontingen) dan riskan, serta tidak terbentuk begitu saja. Kerja-kerja tersebut tidak akan pernah usai jika relasinya diharapkan dapat terus berlanjut dan berkembang menjadi komunitas yang berdaya tahan lama.
Dalam konteks ini, Alatas menelisik: “Penyebaran ini menyoroti bagaimana para aktor tersebut berkutat dengan soal penerjemahan dan mobilisasi di tataran lokal dalam rangka menyemai sunnah dan merangkai jamaah tanpa jaminan keberhasilan dalam mewujudkan visi moral mereka … sebagian besar tokoh Bâ ‘Alawi berhasil mempertahankan kedudukan mereka di antara penduduk setempat dan diakui sebagai otoritas Islam terkemuka, meski ada juga kasus yang kurang berhasil.”
***
Kita jadi paham: sebetulnya yang dimaksud “masa lampau yang fondasional” itulah apa yang oleh Alatas disebut sunnah, “masa lampau kenabian” sebagai inspirasi masa kini. Dari buku ini kita diberitahu bahwa ada banyak sekali ragam sunnah. Alatas sepanjang bukunya menunjukkan bagaimana sunnah dipahami berbeda-beda oleh kaum Muslim dalam mengaktulasikan ragam sunnah Nabi tersebut sehingga melahirkan beragam bentuk praktik keagamaan.
Sebagai kumpulan ucapan, perbuatan, dan kebiasaan Nabi, pada umumnya sunnah diyakini oleh kaum Muslim sebagai penjelasan konkret atas wahyu Ilahi yang diabadikan dalam Alquran—dari cara berbusana dan cara ibadah hingga aturan berperang dan seterusnya. Dengan demikian, Alquran menjadikan Nabi sebagai lensa yang dengannya kitab suci ditafsirkan dan dipahami.
Di samping Alquran, sunnah juga dipandang oleh kaum Muslim sebagai sumber dasar akidah, fiqih, tasawuf, dan akhlaq Islam. Namun perlu dicatat bahwa sunnah tidak pernah ditulis semasa Nabi hidup.
“Entekstualisasi dan pengumpulan riwayat yang menggambarkan sunnah—disebut hadis—berlangsung selama berpuluh-puluh tahun dan bahkan beradab-abad sepeninggal Nabi—dan, karena itu, tidak serta-merta merupakan dokumentasi sejarah ihwal perkataan dan perbuatan Muhammad yang sezaman. Akibatnya, umat Islam tidak pernah bersepakat soal kandungan spesifik sunnah, sekalipun mereka semua mengakui otoritasnya sebagai salah satu sumber dasar Islam,” papar Alatas.
Itulah mengapa sepeninggalnya Nabi, para sahabat dan penerusnya melanjutkan upaya yang diprakarsai atau menggarap lahan baru di tempat lain. Mereka pun mulai berselisih paham tentang cara yang tepat dalam menggarap lahan sosial yang terus berkembang ini.
Itu bermula dari anggapan bahwa sunnah dan hadis merupakan sinonim dalam bentuk teks yang telah dibukukan di kitab-kitab tersebut, yang kemudian menjadi kanonisasi kerangka metodologis bagi peneliti.
Penulis buku berargumen bahwa persoalan abadi seputar translasi, mobilisasi, kolaborasi, kompetisi, dan konflik merupakan dinamika yang terus mengisi muatan dan juga memberi kekuatan dan energi yang khas kepada sunnah—dan, karena itu juga, kepada Islam.
Pokok persoalan yang dicoba-pertaruhkan oleh penulis buku ialah, katanya, tidak ada satu komunitas Islam atau umat Islam global yang tunggal. Justru dalam sejarahnya, selalu ada banyak komunitas yang masing-masing bertumpu pada pelbagai artikulasi sunnah yang mendaku diri sebagai penyampai pesan ajaran Nabi.
Pada tataran lebih luas buku ini menunjukkan bagaimana gagasan artikulasi memungkinkan kita untuk memikirkan suatu komunitas Islam dalam wujud atau bentuk apa pun dengan formasi sosial lain, termasuk negara dan para aktor agama, terus menerus berdialog dengan lingkungan sosial lainnya; sehingga kita dapat berpikir lebih kritis manakala bidang-bidang yang mengaburkan dikotomi antara yang religius dan sekuler.
Sebagai penutup, kita kutip penyataan penulis buku: “bahwa salah satu cara mempelajari Islam sebagai realitas sosiologis adalah dengan melihatnya sebagai hasil dari suatu ikhtiar budi daya lahan sosial yang idealnya terus tumbuh dan berfungsi sebagai situs realisasi pranata norma-norma yang dahulu pernah ditegakkan oleh Nabi Muhammad dan meletakkannya sebagai buah dari yang saya sebut kerja artikulasi (ariculatory labor)—yakni, kinerja dalam menggandeng sunnah dengan jamaah sebagai kategori analitis yang harus terbuka pada penyelidikan sejarah dan etnografi.”
Setelah memahami ini—tampaknya kita perlu merenung maksud pernyataan Habib Luthfi bin Yahya di atas, barangkali kita sadar budi daya lahan sosial apa yang cocok buat umat Islam Indonesia.
Data Buku
Judul: What Is Religious Authority?
Penulis: Ismail Fajrie Alatas
ISBN: 978-602-441-331-6
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan Pertama: Januari 2024
Jumlah Halaman: i-Ixxvii+338