Pesatnya kemajuan teknologi di era modern ini berdampak perubahan pada setiap lini kehidupan. Berbagai inovasi selalu diupayakan agar tetap mampu bersaing dengan para kompetitor lainya. Salah satunya adalah transaksi jual beli online. Beragam paltfrom jual beli online saling bersaing untuk menarik minat pelanggan. Salah satu hal yang sangat diminati oleh masyarakat adalah simtem pembayaran COD (Cash on Delivery) yang ditawarkan oleh pihak olshop. Sebab, selain lebih praktis, pembeli juga minim resiko kerugian.
Meski begitu, legalitas sistem COD yang telah menjamur di kalangan masyarakat ini masih menyisakan kejanggalan bagi sebagian orang. Pasalnya, sistem yang ditawarkan oleh berbagai paltfrom olshop besar ini tidak sesuai dengan aturan akad salam (pemesanan barang) dalam fiqih. Yaitu terjadinya pembayaran harga (ra’sul mal) di akhir setelah akad jual beli terjadi atau setelah barang diterima oleh pihak pembeli. Menurutnya, praktek seperti ini terdapat unsur ba’i ad-dain bi ad-dain yang dilarang oleh Nabi.
Lantas sebenarnya bagaimana pandangan Islam terkait sistem pembayaran COD tersebut? Dan bagaimana praktek COD yang legal menurut pandangan fiqih?
Landasan Larangan Ba’i ad-Dain Bi ad-Dain
Ba’i ad-dain bi ad-dain ialah praktek saling berhutang antara dua belah pihak. Yaitu transaksi di mana penjual tidak menyerahkan barangnya di majlis akad, serta pembeli tidak menyerahkan harga barang tsaman kepada penjual saat akad terjadi. Larangan tersebut berdasarkan hadis Nabi berikut:
نَهَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ. رَوَاهُ الْحَاكِمُ
Artinya: “Nabi melarang terjadinya Ba’i ad-dain bi ad-dain.” (H.R. Imam Hakim)
Ulama menafsirkan hadis di atas dengan penjualan hutang dibeli dengan hutang (Ba’i ad-dain bi ad-dain).
Ragam COD Dalam Perspektif Hukum Fiqih
Cash On Delivery atau dikenal dengan sebutan COD adalah sistem pembayaran di mana penjual dan pembeli membuat kesepakatan untuk bertemu di suatu tempat guna melakukan transaksi yang disetujui kedua belah pihak.
Pada mulanya calon pembeli memilih barang dalam market place atau aplikasi online shop yang lain dengan memperhatikan informasi kualitas atau harga barang tertentu. Kemudian jika telah menemukan barang yang dikehendaki, maka pembeli langsung menghubungi pihak penjual melalui nomor handphone yang tercantum atau chat via aplikasi online shop untuk membuat kesepakatan pembayaran di suatu tempat.
Dalam tinjauan fiqih, praktek COD setidaknya ada dua model kemungkinan akad yang terjadi. Di antaranya yaitu sbb;
- Akad dilaksanakan ketika pihak penjual dan pembeli bertatap muka secara langsung. Praktek seperti ini banyak ditemukan pada market place yang terdapat dalam aplikasi Facebook, Olx dan semisalnya. Yakni penjual dan pembeli bertemu secara langsung tanpa perantara kurir. COD model seperti ini diperbolehkan karena akad yang terjadi adalah jual beli biasa, bukan akad salam (pesan) yang berpotensi terjadinya Ba’i ad-dain bi ad-dain.
- Akad jual beli terjadi di saat barang yang dipilih pembeli belum dikirim, yaitu transaksi dilakukan via online di suatu aplikasi olshop Jika akad ini dilakukan sebelum dikirimnya barang (dilakukan via online), maka akad jual beli dengan sistem pembayaran COD menurut mayoritas ulama hukumnya haram. Karena pada saat terjadi akad tersebut, kedua belah pihak dapat dikatakan sama-sama berhutang, penjual belum menyerahkan barangnya dan pembeli juga belum membayar barang tersebut. Hal ini diharamkan karena terdapat unsur Ba’i ad-dain bi ad-dain. Sebagaimana keterangan berikut;
إنما يصح (بشروط)… (الأول تسليم رأس المال في المجلس) إذ لو تأخر لكان ذلك في معنى بيع الكالئ بالكالئ إن كان رأس المال في الذمة.
Artinya: “Akad salam hanya sah dengan beberapa ketentuan. pertama, adanya pembayaran harga terjadi di majlis akad. Karena jika diakhirkan, maka akan terdapat unsur penjualan hutang dibayar dengan hutang Ba’i ad-dain bi ad-dain.” (Zakariya al-Anshoriy, Asna al-Matholib fi Sarh Roudl al-Tholib, [Bairut, Darul Kutub al-Ilmiah: 2013], juz 2, h. 22).
Solusi Sistem COD Yang Sesuai dengan Aturan Fiqih
Setelah melakukan beberapa analisa, setidaknya penulis menemukan dua solusi yang bisa dilakukan oleh pengguna jasa pembayaran COD. Antara lain;
Pertama, sebagaimana telah diketahui, bahwa jual beli yang terjadi di setiap transaksi via online ialah menggunakan akad salam atau bai’ maushuf fi dzimmah. Kedua jenis transaksi tersebut menurut mayoritas ulama mensyaratkan harga dibayarkan secara langsung saat transaksi terjadi. Namun demikian, terdapat pendapat mazhab Maliki yang tidak mewajibkan dalam akad salam harga (ra’sul mal) dibayarkan secara langsung. Artinya pembayaran boleh diakhirkan hingga barang diterima pihak pembeli, sebagaimana yang terjadi dalam sistem pembayaran COD. Keterangan tersebut dinyatakan Imam Ibn Rusydi dalam kitab al-Muqaddimat al-Mumahhadaat.
وإنما كان من شروط صحته أن لا يتأخر رأس المال فوق ثلاث «لنهي النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عن بيع الكالئ بالكالئ وتأخيره ثلاثة أيام فما دونها بشرط جائز» … وأما تأخيره فوق الثلاث بشرط، فذلك لا يجوز باتفاق – كان رأس المال عينا أو عرضا؛ فإن تأخر فوت الثلاث بغير شرط لم يفسخ إن كان عرضا، واختلف فيه إن كان عينا؛ فعلى ما في المدونة أن السلم يفسد بذلك ويفسخ، وعلى ما ذهب إليه ابن حبيب أنه لا يفسخ إلا أن يتأخر فوق الثلاث بشرط.
Artinya: “Sesungguhnya syarat sah salam ialah tidak boleh ra’sul mal pembayaranya di akhirkan hingga melebihi tiga hari. Karena Nabi melarang terjadinya Ba’i ad-dain bi ad-dain. Meski demikian, diperbolehkan pembayaran ra’sul mal diakhirkan hingga melebihi tiga hari ketika tidak disyaratkan dalam akad… Adapun mengakhirkan pembayaran dengan disyaratkan, ulama sepakat tidak memperbolehkan, baik pembayaran menggunakan barang yang sejenis dengan komoditi atau pun berupa barang lain. Sedangkan jika penundaan pembayaran yang melebihi tiga hari tidak melalui pensyaratan di dalam akad, maka menurut Ibn Hubaib diperbolehkan.” (Ibn Rusydi, al-Muqaddimat al-Mumahhadaat, [Bairut: Darul al-Gharbi al-Islami, 1998 M,], h. 28, v. 2.).
Dari referensi di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn Hubaib mazhab maliki boleh mengakhirkan pembayaran dalam akad salam hingga melebihi tiga hari selama tidak disyaratkan oleh pembeli dalam akad.
Kedua; solusi ini hukumnya ulama sepakat memperbolehkan, namun prakteknya sedikit tabu. Yaitu ketika barang diterima, pembeli langsung menghubungi pihak penjual via chat yang tersedia di aplikasi olshop atau sesasamanya guna melakukan akad jual beli. Hal demikian dilakukan agar terhindar dari keharaman Ba’i ad-dain bi ad-dain. Dalam kasus ini, pembeli tidak bisa melakukan akad ba’i dengan kurir, karena umumnya penjual ketika menyerahkan barang ke pihak jasa pengiriman bukan dalam rangka mewakilkan akad ba’’i.
Simpulan
Fikih tidak mungkin lepas dari perbedaan pendapat. Karena dasar hukum fikih adalah “ẓanni” (dugaan), yang mana sangat mungkin terjadi perbedaan antara satu ulama dengan yang lainya. Termasuk dalam sistem COD ini, beragam pendapat ulama ditemukan.
Maka dari itu, penulis menyarankan bagi pengguna jasa sistem COD hendaknya mengikuti pendapat mazhab Maliki yang memperbolehkan pembayaran diakhirkan dalam akad salam. Wallahua’lam bisshawab.