Hari ini, kita hidup di zaman di mana ceramah cepat saji mendominasi layar ponsel. Banyak orang baru belajar sebentar, belum mendalam, belum matang tapi sudah berani naik mimbar, live di TikTok, viral di YouTube.
Padahal, pondasi ilmu itu seharusnya dibangun perlahan di atas lekar, meja kecil sederhana tempat santri menunduk, membuka kitab kuning, dan setia berguru.
Kalau lekar ditinggalkan, maka mimbar hanya akan jadi panggung kata-kata tanpa kedalaman.
Apa Itu Mimbar dan Lekar?
Mimbar, menurut KBBI, adalah tempat berdiri (untuk berkhotbah, berpidato, atau ceramah). Secara makna, mimbar jadi simbol panggung dakwah: tempat bicara di hadapan banyak orang. Tapi ingat: panggung butuh bekal ilmu.
Lekar, dalam tradisi pesantren, adalah meja kecil tempat kitab diletakkan di depan lutut santri. Lekar ini sederhana — kayu tipis, pendek — tapi fungsinya luar biasa: di situlah kitab-kitab turats dikaji pelan-pelan, diulang, disetorkan ke guru.
Bagi santri, lekar bukan sekadar kayu tapi sakral: tempat ego ditundukkan, ilmu diresapkan.
Peringatan Nabi: Bahaya Serahkan Tugas ke yang Bukan Ahlinya
Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ”
“Kalau suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya (kiamat)”
Artinya, kalau panggung dakwah diisi orang-orang yang belum cukup belajar, maka tunggulah banyaknya kekacauan pemahaman agama.
Peringatan Ulama: Racun Tampil Sebelum Matang
Syaikh Asy-Syarqawi (rahimahullah) berkata:
“إقبال الناس على المريد قبل كماله سم قاتل”
“Kalau orang-orang cepat memuji dan mengikuti murid sebelum dia benar-benar matang, maka itu ibarat racun mematikan.”
Ibnu al-Khallikan menambahkan perumpamaan:
“تزببت وانت حصرم”
“Kau pura-pura sudah menjadi zabib (anggur kering), padahal masih hisrim (anggur mentah).”
Kisah Abu al-Fath Ibnu Jinni jadi pelajaran. Ia tergesa mengajar di usia muda, diuji gurunya Abu Ali Al-Farisi, dan ketahuan belum siap. Sejak itu ia kembali duduk belajar 40 tahun penuh menahan diri sampai benar-benar matang.
Petuah Hikam: Sembunyikan Diri Sebelum Tiba Waktunya
Ibnu Atho’illah As-Sakandari berkata dalam Hikam-nya:
“ادفن وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه”
“Sembunyikanlah dirimu di tanah sunyi dari kemasyhuran, sebab benih yang tumbuh tanpa terkubur takkan berbuah sempurna.”
Yang dimaksud khumul ialah menjauh dari sorotan dan hiruk-pikuk popularitas, menenangkan diri, dan menata hati demi mematangkan ilmu. Sebagaimana benih butuh terpendam di tanah gelap, manusia pun butuh masa sunyi untuk membangun akar.
Bila benih hanya diletakkan di atas tanah, tanpa ditanam, mustahil tumbuh. Akar tak terbentuk, batang pun rapuh. Namun benih yang ditanam, sabar berproses dalam gelap, kelak tumbuh kuat, memecah batu, meraih matahari, lalu berbuah manis.
Begitulah pelajaran Ibnu Atho’illah: sebelum dikenal orang karena dakwah dan karya, sembunyikan diri di lekar. Bersihkan hati dari nafsu pamer dan kepentingan dunia. Karena siapa yang terburu-buru tampil sebelum matang, maka tumbang di tengah jalan.
Pesan Kiai Masduki Baidlowi: Ustadz Medsos Tanpa Sanad
Kiai Masduki Baidlowi, Ketua MUI Bidang Infokom, mengingatkan:
“Konten agama digital tanpa sanad berbahaya, karena orang bebas bicara agama semaunya, sesuai hawa nafsu atau kepentingan.” (Baca: MUI.or.id)
Beliau menekankan, belajar agama harus ada sanad (mata rantai guru) agar jelas ilmunya bersambung ke ulama terdahulu. Kalau hanya belajar dari Google atau YouTube tanpa bimbingan, mudah tersusupi paham sesat dan radikalisme.
Survei PPIM UIN Jakarta (2017) pun menunjukkan:
- 50,9% pelajar/mahasiswa belajar agama dari internet.
- Hanya 48,6% belajar dari buku.
- Sementara, 79,5% masyarakat Indonesia sudah melek internet. Artinya, kalau tidak hati-hati, internet bisa jadi pisau bermata dua: bermanfaat kalau berguru, menyesatkan kalau asal comot.
Tanda Zaman: Banyak Penceramah, Sedikit Ulama
Imam Al-Ghazali pernah berpesan:
“وسيأتي على الناس زمان قليل فقهاؤه كثير خطباؤه قليل معطوه كثير سائلوه العلم فيه خير من العمل”
“Akan datang masa di mana sedikit yang benar-benar faqih (paham mendalam), banyak yang pandai bicara; sedikit yang mau memberi, banyak yang meminta. Di masa seperti itu, menuntut ilmu lebih baik daripada sekadar beramal.”
Solusi: Kembali ke Lekar
- Tetap istiqamah ngaji di atas lekar — mulai dari matan dasar, tekuni baris per baris, jangan malu memulai dari kitab tipis.
- Bijak mencari guru di media sosial pastikan bersanad, jelas jalur keilmuannya.
- Terus belajar walau sudah di mimbar , sebab kata kyai saya Abba KH. Hafizhuddin, M.A: “Pengajar yang berhenti belajar, berhentilah mengajar.”
Penutup
Lekar itu kecil, tapi di sanalah ilmu besar lahir. Mimbar itu tinggi, tapi hanya kokoh bila pondasinya kuat. Jangan jadi zabib palsu — sabarlah mengakar dalam sunyi.
Siapa memetik anggur mentah, pahitlah rasa di lidah. Siapa sabar menunggu ranum, manislah buah di dada.
Referensi:
- Bukhari, Kitab Al-‘Ilm.
- Syaikh Asy-Syarqawi, Syarh Al-Hikam.
- Ibnu al-Khallikan, Wafayat al-A‘yan.
- Ibnu Atho’illah As-Sakandari, Al-Hikam
- Kiai Masduki Baidlowi, Konten Ustadz Medsos Tanpa Sanad, or.id.
- Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Juz 1 hlm. 8.
Discussion about this post