Paska pemetaan Trust Issue dan berburuk sangka, tidak shohih kiranya bila persoalan budaya tabayyun, verifikasi dan sejenisnya belum kita meja hijaukan.
Berita, kabar, warta atau apapun orang-orang menyebutnya adalah Khabar dalam istilah arab,
ثُمَّ إنَّهُ يَنْقَسِمُ أَقْسَامًا ثَلَاثَةً خَبَرٌ يُعْلَمُ صِدْقُهُ بِيَقِينٍ مِثْلُ خَبَرِ الرَّسُولِ وَالْخَبَرُ الْمُوَافِقُ لِلْكِتَابِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ وَخَبَرٌ يُعْلَمُ كَذِبُهُ بِيَقِينٍ مَا بِضَرُورَةِ الْعَقْلِ أَوْ نَظَرِهِ أَوْ الْحِسِّ وَالْمُشَاهَدَةِ كَمَنْ أَخْبَرَ عَنْ الْجَمْعِ بَيْنَ الضِّدَّيْنِ أَوْ أَخْبَرَ بِمَا يُحِسُّ بِخِلَافِهِ أَوْ أَخْبَرَ بِمَا يُخَالِفُ النَّصَّ الْقَاطِعَ مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَخَبَرٌ يَحْتَمِلُ الصِّدْقَ وَالْكَذِبَ، وَهُوَ عَلَى مَرَاتِبَ مَا تَرَجَّحَ جَانِبُ صِدْقِهِ كَخَبَرِ الْعَدْلِ، وَمَا تَرَجَّحَ جَانِبُ كَذِبِهِ كَخَبَرِ الْفَاسِقِ، وَمَا اسْتَوَى طَرَفَاهُ كَخَبَرِ الْمَجْهُولِ.
“Setelah selesai mengelompokkan khabar, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa ada tiga jenis khabar. Pertama, berita yang dapat dipastikan kebenarannya, misal hadis Nabi dan khabar yang berlandaskan Al Qur’an. Kedua, “info” yang dapat dipastikan kebohongannya, contoh, berita yang bertolak belakang dengan nas atau akal sehat. Ketiga, berita yang masih samar, boleh jadi benar, boleh jadi tidak. Seperti berita yang disampaikan oleh orang tidak dikenal. (ʻAlāʼ al-Dīn, ʻAbd al-ʻAzīz ibn Aḥmad al-Bukhārī, Kashf al-Asrār, (Istanbul: Sharikat al-Ṣaḥāfah al-ʻUthmānīyah, t.t.), vol. 2, hlm. 360.)
Ibnu Khaldun (w.1406) pernah mewanti-wanti masyarakat muslim untuk lebih selektif pada sejarah, Beliau menulis:
“Bagaimanapun, sejarah adalah kabar mengenai kehidupan suatu masyarakat-maka kebohongan sangat mungkin terjadi dalam sejarah.”
(Ibn Khaldun, Muqaddimah , ed. Abd al-Salam al-Shaddadi [Beirut: Dar al-Fikr, tt.], 1:49)
Penulis pikir, pesan Ibnu Khaldun tidak terkhusus pada sejarah, lebih dari itu, pesan ini berlaku untuk semua berita atau kabar.
Gus Ulil (Ulil Abshar Abdalla), mengutip At Thohthawi dalam bukunya Takhlish al Ibriz,
Ia menulis:
Ketahuilah bahwa berbeda dengan orang-orang Kristen/Katolik yang lain, penduduk Paris memiliki kekhasan tersendiri, yaitu kecerdasan pikir, kedetilan pemahaman, dan kedalaman penjelajahan dalam gagasan yang kompleks dan sukar ( al-‘awīsāt ). Mereka tidak sama dengan orang-orang Kristen Koptik (di Mesir) dalam hal bahwa yang terakhir ini cenderung bodoh dan abai. Orang-orang Kristen Paris tidak menjadi tawanan tradisi taqlid (meniru secara membabi-buta). Sebaliknya mereka gemar menggali sesuatu hingga ke akarnya dan mencari pembuktian atasnya. Bahkan kalangan awam di antara mereka sekali pun amat gemar membaca dan menulis, dan ikut serta bersama kalangan lain (yang lebih terpelajar) dalam mengkaji perkara-perkara yang mendalam. Masing-masing orang melakukan kajian ini sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, kalangan awam di negeri ini (Paris) tidaklah sama dengan orang-orang awam dari negeri-negeri Barbar (al-bilād al-mutabarbira). (Rifāʻah Rāfiʻ al-Ṭahṭāwī, Takhliṣ al-Ibrīz fī Talkhīṣ Bārīz (t.tp.: t.tp., t.t.), hlm. 29.)
Firman Tuhan menjadi bukti nyata betapa budaya tabayyun, verifikasi dan kehati2an adalah bagian dari ajaran agama:
وَ لاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ , إِنَّ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ وَ الْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Saat menafsiri ayat diatas Al Qurtubhi menulis:
(وَلا تَقْفُ) أَيْ لَا تَتْبَعُ مَا لَا تَعْلَمُ وَلَا يَعْنِيكَ
“Jangan ikuti apa yang tidak kamu ketahui dan tidak ada urusannya denganmu”
Terakhir, kiranya setelah ini kita lebih berhati-hati, tidak mudah terprovaksi dan menjudge pihak lain. Bila sekiranya tidak mampu menilai, maka bertanya pada ahli adalah solusi. Selesai. Wallahu a’lam bisshowab
Discussion about this post