Perkembangan teknologi komunikasi membawa kemudahan dalam pertukaran informasi, pada saat yang sama menggerus kedalaman nilai spiritual dalam proses komunikasi manusia. Arus informasi yang serba cepat, instan, dan masif menjadikan praktik komunikasi lebih berfokus pada efektivitas pesan, kecepatan respons, dan pencapaian tujuan praktis.
Dalam pandangan Islam, sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab, komunikasi bukan sekadar aktivitas menyampaikan dan menerima pesan, tetapi juga merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Prinsip tauhid menjadi landasan pokok yang membimbing manusia dalam membangun pola pikir, berinteraksi, serta menyampaikan pesan secara etis dan bernilai spiritual.
Fenomena komunikasi transendental dalam Islam merujuk pada bentuk hubungan antara manusia dan Allah SWT yang bersifat non-fisik dan ghaib, namun dapat dihayati secara nyata melalui pengalaman batin. Komunikasi ini tidak sebatas interaksi antarmanusia, melainkan menempatkan hubungan spiritual sebagai wujud kesadaran bertauhid, yakni mengesakan Allah dalam seluruh dimensi kehidupan.
Dalam perspektif Islam, manusia dipandang sebagai makhluk komunikatif sekaligus hamba, dalam proses komunikasi transendental berfungsi sebagai pengelola makna dalam sistem komunikasi Ilahi. Komunikasi transendental terwujud melalui berbagai ritus ibadah, baik wajib maupun sunnah, seperti shalat, doa, dzikir, dan amalan lainnya yang menjadi media utama penyampaian pesan serta pendekatan diri kepada Allah SWT.
Melalui praktik ini, manusia tidak hanya menyampaikan permohonan atau ungkapan verbal, tetapi juga membangun kedekatan spiritual, penghambaan, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Kualitas hubungan manusia dengan sesama diyakini sangat dipengaruhi oleh kualitas komunikasi vertikalnya dengan Allah, yang menjadi sumber ketenangan batin dan kesejahteraan spiritual.
Komunikasi transendental dalam Islam berpijak pada prinsip tauhid yang menempatkan manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai hamba yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah SWT (hablun minallah). Relasi spiritual ini terbangun melalui kesadaran dan komitmen untuk selalu mendekat kepada-Nya, menaati perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta mengejawantahkannya dalam berbagai bentuk ibadah seperti shalat, doa, dan dzikir sebagai sarana komunikasi batin dengan Tuhan.
Keyakinan bahwa Allah SWT senantiasa mendengar dan memperhatikan setiap doa serta ibadah menjadikan komunikasi transendental tidak berhenti pada aspek lahiriah, tetapi juga menyentuh dimensi batin dan spiritual. Proses ini pada akhirnya membentuk kesalehan pribadi yang mengarahkan penghayatan makna hidup dalam kerangka ketauhidan.
Lebih jauh, kualitas hablun minallah tersebut menjadi dasar terciptanya hubungan sosial yang harmonis (hablun minannas), karena interaksi yang baik dengan sesama berakar pada spiritualitas yang kuat. Dengan demikian, komunikasi transendental berfungsi sebagai fondasi spiritual yang menuntun umat Islam untuk membangun kehidupan yang etis, selaras, dan berorientasi pada nilai-nilai ilahiah.
Komunikasi transendental berfungsi untuk meneguhkan keterhubungan ruhani antara manusia dan Sang Pencipta melalui bahasa doa, dzikir, tafakkur, dan tadabbur ayat-ayat Allah. Hal ini dikemukakan oleh Al-Ghazali bahwa komunikasi sejati adalah dialog batin antara hati manusia dan Tuhannya, antara qalb, ruh, nafs, dan aql, bukan sekadar ujaran verbal. Komunikasi jenis ini bersifat kontemplatif dan berorientasi pada kesucian makna, bukan pada efektivitas teknis saja.
Komunikasi sebagai Kesadaran Ilahiah
Dalam perspektif tauhid, menunjukkan bahwa terdapat tiga dimensi paradigmatis yang menjadi dasar dalam memahami ilmu komunikasi Islam meliputi:
Pertama, dimensi ontologis memandang komunikasi Islam sebagai bagian dari dakwah yang berupaya menyampaikan nilai-nilai sesuai ajaran Islam. Manusia dipahami sebagai makhluk komunikatif sekaligus spiritual, sedangkan ontologi tauhid menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya realitas absolut dan manusia berada dalam hubungan ketergantungan dengan-Nya.
Kedua, epistemologis menempatkan wahyu dan akal sebagai dasar pengetahuan. Epistemologi Islam memadukan metode bayani, tajribi, burhani, dan irfani, di mana suatu pengetahuan dinilai benar apabila bersumber dari wahyu dan diperkuat pengalaman empiris sebagai manifestasi kebenaran Ilahi.
Ketiga, aksiologis menekankan bahwa komunikasi berfungsi menyebarkan nilai kebenaran, rahmat, dan kemaslahatan sesuai etika Al-Qur’an dan Hadits. Komunikasi bertujuan meningkatkan kualitas moral-spiritual serta membangun teori komunikasi yang berlandaskan nilai etis.
Berdasarkan tiga dimensi tersebut, komunikasi dalam Islam bukan sekadar pertukaran pesan, tetapi bagian dari perjalanan spiritual manusia dalam membangun hubungan dengan Allah dan sesama. Komunikasi dipahami sebagai bentuk ibadah yang berlandaskan tauhid, sehingga setiap pesan bertujuan menebarkan kebenaran dan kemaslahatan.
Dengan demikian, komunikasi menjadi sarana transendental yang menyatukan aspek rasional, sosial, dan spiritual menuju kesempurnaan iman dan akhlak.
Penutup
Tauhid merupakan landasan pokok dalam komunikasi transendental menurut perspektif Islam. Ia tidak hanya dipahami sebagai doktrin keimanan, tetapi juga sebagai kerangka epistemologis yang memengaruhi cara manusia memahami, menyampaikan, dan menafsirkan pesan. Dengan demikian, komunikasi dalam Islam bukanlah kegiatan netral atau sebatas pertukaran informasi, melainkan proses spiritual yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, dirinya sendiri, dan orang lain melalui kesadaran moral dan nilai ilahi.
Pendekatan tauhid juga mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dalam komunikasi secara menyeluruh, sehingga membentuk paradigma komunikasi yang berorientasi pada Tuhan, bernilai etis, dan bersifat reflektif.
Dalam penerapannya, paradigma ini dapat digunakan pada berbagai ranah: Pendidikan komunikasi Islam, dengan menjadikan nilai tauhid sebagai dasar etika dan moral pembelajaran. Media dan dakwah digital, di mana prinsip tauhid menjadi pedoman penyusunan pesan yang mendorong kesadaran spiritual, bukan hanya memikat audiens. Komunikasi sosial dan organisasi, dengan menempatkan amanah, kejujuran, serta tanggung jawab sebagai acuan interaksi.
Secara konseptual, paradigma tauhid juga membuka ruang bagi pengembangan ilmu komunikasi berbasis wahyu (Islamic communicology), yang menempatkan relasi manusia dengan Tuhan sebagai pusat aktivitas komunikasi. Ini memungkinkan perluasan cakrawala teori komunikasi dari sekadar fenomena sosial menuju ranah eksistensial dan spiritual.
***
Referensi
Basit, A. (2016). Konstruksi ilmu komunikasi Islam. Jurnal Penelitian Agama, 17(1), 73–95.
Faisal, F., Budianti, Y., & Hanum, A. (2023). Nilai-nilai pendidikan akhlak perspektif M. Quraish Shihab pada buku Yang Hilang dari Kita Akhlak. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3). Jayapangus Press.
Lindiawati, M. (2024). Komunikasi transendental (Studi fenomenologi pada Jamaah Manaqib Syekh Abdul Qodir Al Jaelani Desa Gumiwang Kecamatan Kejobong Kabupaten Purbalingga) (Skripsi, hlm. 21–26).
Mawah, N. (2021). Ibadah sebagai bentuk komunikasi transendental. Al-Din: Jurnal Dakwah dan Sosial Keagamaan, 7(2).
Rozzaq, A. (2022). Telaah konseptual komunikasi transendental dalam perspektif komunikasi Islam. Wardah, 23(2), 201–217.











Discussion about this post