Alhamdulillahi rabbil alamin, Allah telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengikuti dars tafsir Hidayatul Qur’an oleh KH. M. Afifudin Dimyathi pada Jum’at, 14 November 2025 — QS. Al Baqoroh 271 – 278.
Di tengah-tengah kajian berlangsung, ada satu cuplikan sederhana namun hal ini sangat berpengaruh pada ketenangan seseorang semasa hidupnya. Beliau menyinggung satu topik tentang ketenangan dalam sudut pandang al-Qur’an — ketika sampai pada ayat 277
إِنَّ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ (277)
“Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Surat Al-Baqarah: 277].
Secara teks bisa kita pahami — bahwa jika ada orang beriman yang melaksanakan amal sholih, sholat, menunaikan zakat, maka dia akan mendapatkan pahala/ganjaran disisi Allah SWT dan juga mereka tidak akan disertai rasa takut dan sedih.
Nah, ada satu benang merah atas cuplikan ayat yang beliau tarik saat itu;
وَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ
“Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
Perlu kita ketahui, penjelasan lebih lanjut tentang tafsir pada redaksi potongan ayat diatas. Beliau menafsirkan dengan makna; tidak takut pada hal-hal yang meresahkan pada hari kiamat kelak — kita simpulkan secara universal sebagai “hal yang belum terjadi”, dan tidak bersedih atas hal-hal duniawi yg telah mereka tinggalkan — kita simpulkan sebagai “telah terjadi”.
Maka, (وَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ) makna sederhananya adalah; “tidak takut pada apapun yang belum terjadi dan tidak bersedih atas hal yang telah terjadi.”
Isi redaksi ayat tersebut adalah 2 dari 3 balasan (pahala disisi Allah, tidak takut, dan cemas.) — atau dalam hal ini kita sebut sebagai akibat. Tentunya kita tahu jika disebutkan akibatnya, maka dimana sebabnya?, iya. Sudah tertulis pada redaksi ayat — orang beriman yang melaksanakan amal sholih, sholat, dan menunaikan zakat.
Berangkat dari sini, membuat beliau tertarik untuk menyebutkan satu tema yang mungkin bisa membuat pikiran kita terbuka — Resep Ketenangan dalam Al Quran: Surat al-Baqarah khususnya.
Menariknya, pola balasan ini tidak hanya dimuat pada ayat 277 saja, namun juga pada ayat sebelumnya — 274;
ٱلَّذِینَ یُنفِقُونَ أَمۡوَ ٰلَهُم بِٱلَّیۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرࣰّا وَعَلَانِیَةࣰ فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ 274
“Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Surat Al-Baqarah: 274].
Pada ayat 274, berisikan akibat yang sama, hanya saja ada sebab yang perbedaannya tidak terlalu signifikan — berinfaq siang dan malam hari, baik samar atau terang-terangan — meskipun redaksi amalnya berbeda tapi sejajar pada pola sebab-akibatnya.
Sebelumnya kita harus sedikit meraba terlebih dahulu perihal zakat. Bahwa zakat dibagi menjadi 2; 1. Zakat Fitrah (Pada bulan Ramdhan) 2. Zakat Maal ( jika sudah mencapai nishab dan haul) — namun hal itu diperuntukkan bagi kalangan tertentu — Sedangkan berinfaq adalah amaliyah sunnah (memberi harta diluar zakat) dan diperuntukkan bagi siapa saja.
Perlu kita sematkan bahwasanya hal wajib tidak akan pernah dikalahkan oleh kesunnahan. Zakat, yang statusnya sebagai satu pondasi rukun islam adalah wajib bagi setiap muslim selagi dia mampu. Namun tidak berarti infaq dapat menggantikan kewajiban zakat.
Baik. Kita dapat satu hal dari substansial keduanya — zakat dan infaq — yaitu memberikan sebagian harta.
Ini adalah konsep awal, yang menurut kami bisa menjadi pemantik dari judul — Resep Ketenangan. Jika kita padukan dari kedua ayat maka akan kita temukan alur konsepnya; memperbaiki iman, amal sholih, solat — jika solat maktubah telah dijaga dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah solat sunnah — dan berinfaq — tanpa harus meninggalkan zakat wajib.
Nah, dari situ kita bisa memulai untuk meracik berbagai komponen diatas menjadi satu resep yang kita harapkan menjadi Resep Ketenangan.
Namun sebelum itu, Kyai Afifuddin masih menampilkan ayat lain sebagai penjelasan untuk memenuhi metode tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, sehingga beliau menambahkan QS. Yunus : 62 — sebagai penjelasan lebih lanjut;
أَلَاۤ إِنَّ أَوۡلِیَاۤءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ 62
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Surat Yunus: 62]
Ini adalah gambaran sifat dari para wali Allah. Namun jika dikaitkan dengan pokok pembahasan kita sebelumya, maka hal itu searah dengan sebuah balasan yang luar biasa— atau kita anggap sebagai balasan berupa “status”.
Kita sepakat bahwa status yang luar biasa tidak akan diperoleh dengan santai-santai aja — ya benar, pasti tidak akan balance antara sebab dan akibat.
Dari semua komponen yang telah disajikan, maka kita bisa menghasilkan resep ketenangan dalam menjalankan kehidupan ini — resep dari ayat 277 atau 274, terserah. Jika condong pada ayat 277 maka resepnya; memperbaiki iman, beramal sholeh, mengerjakan sholat, dan menunaikan zakat. Nah, jika resep melalui ayat 274, jadinya lebih simpel; berinfaqlah! — inilah yang kyai Afifudin kutip; “jika kalian sedang susah, berinfaqlah!”.
Atau jika dibuat dengan gaya universal (kombinasi ayat 274 dan 277); cukup menjauhi semua hal yang sia-sia dan melakukan semua kewajiban — terlebih jika diiringi dengan melaksanakan amaliyah sunnah, tentunya hal ini akan menjadi poin plus, bahkan dapat mengantarkan seseorang menuju kedekatan dengan Allah, sebagaimana sifat para wali yang Allah sebutkan. Wallahu A’lam.












Discussion about this post