Mungkin hanya hipotesa saya, namun sepertinya fenomena ini nampaknya telah terjadi di banyak hati kaum muslim modern, yakni praktik menjadikan “takdir Allah” sebagai pembenaran atau alibi atas dosa dan maksiat yang dilakukan secara sadar, bahkan terkadang secara terang-terangan. Kecenderungan ini mengindikasikan kesalahan fatal dalam memahami konsep keimanan dan pertanggungjawaban personal dalam Islam.
Dosa Besar yang Melebihi Maksiat
Kita sering melihat seorang Muslim yang ketika melakukan dosa—seperti mencuri, berzina, atau mengonsumsi minuman keras—ia akan berujar, “Ini adalah takdir saya.” Padahal sejatinya, ketika ia berrujar demikian, ia telah melakukan dosa yang jauh lebih besar daripada maksiat itu sendiri.
Pernyataan ini dinilai oleh para ulama sebagai bentuk fitnah terhadap Allah atau menuduh bahwa Allah-lah yang menginginkan hamba-Nya berbuat maksiat. Padahal, dosa tersebut lahir dari kehendak bebas (ikhtiyar) dan pilihan sadar hamba itu sendiri. Tindakan menyalahkan takdir atas pilihan dosa yang disengaja merupakan kesalahan teologis (aqidah) yang serius, sebab hal itu menafikan ajaran bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatan buruk yang dipilihnya.
Memahami Batasan Taubat
Penting untuk ditegaskan bahwa konsep Taubat (pertobatan) memiliki syarat-syarat mutlak yang sering kali diabaikan. Taubat yang sejati tidak hanya sekadar ucapan permohonan maaf (istighfar), melainkan harus disertai dengan tiga pilar utama: penyesalan mendalam, meninggalkan perbuatan dosa saat itu juga, dan tekad yang kuat dan sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi dosa tersebut di masa mendatang.
Jika seseorang bertaubat hari ini, namun dalam hati telah merencanakan atau bahkan merasa yakin akan mengulangi dosa yang sama besok, maka taubatnya dianggap tidak sah. Taubat seperti ini—yang sering disebut sebagai “taubat sambal”—tidak menjamin pengampunan dari Allah, karena syarat fundamental berupa niat kuat untuk meninggalkan dosa tidak terpenuhi. Dosa tetap dicatat sebagai dosa, dan permintaan maaf belum tentu diterima jika tidak disertai kejujuran niat.
Pemisahan Antara Kehendak Allah dan Kehendak Manusia (Ikhtiyar)
Kesalahpahaman tentang takdir dan dosa berakar pada kegagalan membedakan antara perkara yang berada di luar kontrol manusia dan perkara yang merupakan pilihan sadar manusia.
Perkara-perkara yang di luar kontrol mencakup segala sesuatu yang tidak dapat dikendalikan atau dihentikan oleh manusia, seperti detak jantung atau peristiwa alam. Perkara-perkara ini sepenuhnya merupakan kehendak mutlak Allah, dan manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atasnya.
Sedangan hal-hal yang termasuk dalam dontrol (Ikhtiyar) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan atas dasar kesadaran, pilihan, dan kemauan bebas. Misalnya, keputusan untuk mengambil minuman keras, berjudi online, atau mencuri. Allah telah menetapkan larangan (mengharamkan zina, judi, miras), dan ketika seorang hamba secara sadar memilih untuk melanggar larangan itu, dosa sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
Poin krusialnya terletak pada kesadaran: ketika seseorang tahu betul bahwa suatu perbuatan adalah dosa namun tetap melakukannya, ia tidak boleh menyalahkan takdir. Ia sendiri yang telah memilih dan menginginkan dosa tersebut.
Meluruskan Konsep Baik dan Buruk (al-khair wa al-shar)
Dalam pandangan teologi Ahlussunah wal Jama’ah, pemahaman mengenai baik (khair) dan buruk (shar) perlu diluruskan. Pertama, dari sisi Allah, segala sesuatu yang ditetapkan dan diciptakan Allah adalah baik (khair). Kedua, dari manusia, baik (Khair) adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah, yang jika dilakukan akan mendatangkan pahala. Sedangkan keburukan (Shar) adalah perkara yang dilarang oleh Allah, yang jika dilakukan akan mendatangkan dosa.
Buruk (shar) di sini tidak dimaknai sebagai musibah (seperti sakit atau kecelakaan), melainkan sebagai perbuatan yang menjadikan pelakunya berdosa karena melanggar larangan-Nya. Ketika manusia melakukan perbuatan yang dilarang, ia memilih shar, dan tanggung jawab dosa sepenuhnya ia tanggung.
Bahaya Mempermudah Jalan Menuju Surga
Fenomena menyalahkan takdir juga diperburuk oleh tren penceramah yang membawakan ajaran Islam dengan cara yang terlalu “mudah,” sehingga cenderung membuat umat menganggap remeh (ngentengin) perkara dosa dan siksa akhirat. Pendekatan yang melulu memperlihatkan sisi welas asih Allah, tanpa mencoba menampilkan sisi lain dari-Nya, yakni “sang penyiksa yang kejam” hanya akan membuahkan sikap mudah meremehkan.
Sehingga, dua hal ini (khauf dan raja’) harus dihadirkan dalam porsi yang sebanding, agar misi dakwah tercapai dengan maksimal.
Seorang mukmin sejati seharusnya berjuang untuk menghindari neraka, walaupun hanya satu hari, karena siksaan di neraka jauh lebih dahsyat dan menyakitkan dibandingkan penjara dunia. Ajaran yang terlalu mempermudah pintu surga berisiko menghilangkan kewaspadaan dan ketakutan umat terhadap azab Allah, yang merupakan bagian penting dari keimanan. Walaupun ada janji bahwa kelak semua umat Islam akan memasukinya, namun pertanyaan utamanya adalah kapan?
Dua Kewajiban: Hukum Negara dan Syariat Agama
Terakhir, kehidupan seorang Muslim di Indonesia menuntut keseimbangan antara dua kewajiban:
Kewajiban sebagai Warga Negara: Diatur oleh undang-undang, yang menuntut adanya toleransi dan pengakuan terhadap keberadaan semua kelompok dan agama di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kewajiban sebagai Seorang Muslim: Diatur oleh syariat Islam, yang mengharuskan keyakinan teguh bahwa hanya Islam adalah kebenaran mutlak di sisi Allah.
Seorang Muslim harus mampu menghormati pluralitas secara kenegaraan, namun tidak boleh mengorbankan keyakinan teologisnya bahwa kebenaran hakiki hanya ada dalam ajaran Islam. Kerumitan hidup ini menuntut kebijaksanaan dan komitmen ganda agar tidak terjadi konflik antara hukum duniawi dan hukum ukhrawi.











Discussion about this post