Membahas mengenai karya Ulama’ Nusantara, seakan tidak ada habis-habisnya. Meskipun itu hanya sekedar karya terjemahan dengan makna jawa dan bahasa daerah lainnya, terkadang antar terjemahan satu kiai dengan kiai lainnya dalam satu judul kitab yang sama memiliki perspektif makna yang berbeda. Tergantung kepada siapa kiai tersebut dahulu mengaji/nyantri dan adanya latar belakang tujuan tertentu dibalik penulisan karya tersebut. Dalam suasana memperingati HUT RI Ke-80 dan sebagai wujud kecintaan kepada negeri ini, kali ini kita akan membahas dua tafsir Al-Qur’an berbahasa lokal (Jawa) yang ditulis oleh KH. Ahmad Mudjab Mahalli.
Pada dua kitab tafsir yang berjudul Al-Mahalli dan Al-Furqon, Kiai Ahmad Mudjab Mahalli yang dikenal sebagai politikus handal dan sosok ulama yang berperawakan mirip Gus Dur ini memiliki tujuan yang berbeda dibalik penulisan dua tafsir tersebut.
Latar belakang penulisan Tafsir Al-Mahalli yang diterbitkan oleh Percetakan Kota Kembang Jogjakarta di tahun 1979 ini adalah karena permintaan beberapa Kiai dan Cendikiawan Muslim kepada Kiai Mudjab untuk menuliskan sebuah tafsir Al-Qur’an dengan bahasa lokal (Jawa) yang dilengkapi asbabun nuzul serta makna yang terkandung dalam ayat tersebut.
Dalam mukaddimah-nya, Kiai Mudjab menyebutkan bahwa kala itu masih merupakan barang yang langka/belum ada tafsir Al-Qur’an berbahasa lokal yang juga dilengkapi dengan perangkat tersebut. Selain itu, lahirnya tafsir ini sebagai kenang-kenangan peringatan hari pernikahan beliau dengan istri tercintanya, Ny. Hj. Nadhiroh Mushlih pada tanggal 23 Februari 1979 M / 17 Rajab 1409 H.
Pemilihan nama Al-Mahalli ini dipilih oleh Kiai Mudjab guna mengenang jasa-jasa kebaikan ayahandanya, Kiai Mahalli yang telah mendidik beliau beserta saudara lainnya. Kemudian Tafsir Al-Mahalli ini mendapat kata pengantar (taqridz) dari jajaran Ulama’ Syuriah PBNU pada masanya, seperti Drs. KH. Ahmad Ghozali Masruri, KH. Nawawi Abdul Azis Al-Hafidz Bantul (menantu KH. Munawwir Krapyak), dan KH. Abdul Wahhab Hafidz Rembang. Ketiga ulama’ tersebut selain memberikan kata pengantar, beliau-beliau juga turut mentashih (mengkoreksi) muatan isi yang terkandung dalam tafsir Al-Mahalli ini.
Ulama’ lain yang turut mengkoreksi tafsir Al-Mahalli ini antara lain, Drs. KH. Muhammad Yusuf Al-Hafidz (Pengasuh Ponpes Al-Hikmah, Wonosari, Yogyakarta) dan Kiai Ahmad Syuhudi Juwaini (Pengasuh Ponpes Salafiyyah Magelang, Jawa Tengah).
Penulisan tafsir ini disusun secara sistematik, yakni dengan diawali makna-makna yang terkandung secara global dalam surah yang akan dibahas, kemudian ditampilkan 5 ayat makna gandul terlebih dahulu dalam Qs. Al-Baqarah beserta keterangan penjelas, lalu dilanjutkan dengan 5 ayat lainnya dengan sistematika yang sama.
Adapun tafsir Al-Furqan yang terbit pada tahun 1993 dan dicetak oleh Maktabah Hijri, Solo merupakan tafsir karya KH. Ahmad Mudjab Mahalli dimana latar belakang penulisan tafsir ini sebagai perangkat kegiatan belajar-mengajar beliau kepada para santri di Ponpes Al-Mahalli.
Tafsir ini muatannya hampir sama dengan tafsir sebelumnya (sama-sama ditulis dengan aksara Arab-Pegon berbahasa Jawa), namun hanya ada penjelasan ringkas saja yang tercantum dalam tafsir Al-Furqan ini. Jika Tafsir Al-Mahalli hanya rampung terselesaikan sampai juz 1 saja, maka dalam tafsir ini Kiai Ahmad Mudjab Mahalli mampu merampungkan penulisannya sampai juz 2.
Waba’du, demikianlah seklumit dari pemaparan penulis mengenai dua tafsir karya ulama’ Nusantara ini yang mana dapat kita ambil pelajaran bahwa Ulama’ di negeri kita produktivitasnya dalam menulis tak kalah hebatnya dengan ulama’-ulama’ Timur Tengah. Meskipun karya yang diterbitkan tersebut merupakan terjemahan dengan makna gandul. Wallahu A’lam Bisshowwab
Discussion about this post