Fenomena “Gus dan Ning ngartis” semakin menonjol dalam lanskap keagamaan kontemporer Indonesia. Sebutan Gus dan Ning yang sejatinya merepresentasikan warisan keilmuan, keteladanan moral, serta komitmen sosial kiai pesantren, kini mengalami pergeseran makna. Gelar tersebut, dalam konteks media sosial, cenderung direduksi menjadi identitas populer atau bahkan label “selebritas religius.”
Media sosial, yang semula dapat menjadi ruang dakwah dan refleksi intelektual, kini berubah menjadi panggung pencarian validasi. Banyak figur keagamaan muda tampil dengan konten yang lebih menonjolkan aspek personal dan gaya hidup ketimbang substansi keilmuan. Fenomena ini menandai pergeseran orientasi dari dakwah berbasis nilai menuju dakwah berbasis pasar.
Masalah epistemologis muncul ketika sebutan Gus atau Ning diperlakukan sebagai modal simbolik untuk membangun citra personal (personal branding), bukan lagi sebagai representasi otoritas keilmuan dan tanggung jawab sosial. Alih-alih mengangkat isu amar ma’ruf nahi munkar, maqashid syariah, atau maslahah ‘ammah, sebagian konten yang dihasilkan justru bersifat ringan, lucu, dan mengikuti selera algoritma. Akibatnya, figur Gus yang seharusnya menjadi pewaris tradisi intelektual pesantren lebih tampak seperti public figure ketimbang penegas moral sosial.
Dampak dari fenomena ini ialah pudarnya daya kritis kalangan agamawan muda. Sebagian di antara mereka lebih memilih tampil akrab dengan kekuasaan, berpose bersama pejabat, atau menormalisasi kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil. Padahal, secara historis, peran Gus dan Ning adalah sebagai corong independen yang menjaga jarak dari kepentingan kuasa dan modal. Ketika peran kritis ini melemah, masyarakat kehilangan salah satu sumber kontrol moral yang otonom.
Fenomena “Gus ngartis” juga menunjukkan gejala komodifikasi agama, yaitu ketika nilai-nilai spiritual dan dakwah dijadikan komoditas hiburan. Dakwah bergeser dari ruang tahqiq (pendalaman ilmu) menjadi sekadar tontonan yang menekankan aspek performatif. Masyarakat pun lebih tertarik pada ceramah yang ringan, lucu, dan viral ketimbang yang ilmiah dan reflektif. Kondisi ini mencerminkan krisis literasi keagamaan, di mana keberislaman direduksi menjadi simbol-simbol visual tanpa kedalaman makna.
Padahal, tradisi pesantren mengajarkan bahwa ilmu tidak hanya diukur dari popularitas, tetapi dari kedalaman pemahaman dan konsistensi adab ilmiah. Karena itu, tugas para Gus bukan sekadar mengisi panggung publik, melainkan menjaga maqam keilmuan agar tidak tergerus oleh tren digital yang dangkal.
Menertawakan agama memang mudah, tetapi menanamkan pemahaman, adab, dan nalar kritis adalah jihad intelektual yang sesungguhnya.











Discussion about this post