Kerusakan alam yang terjadi di darat maupun di laut sebenarnya bukan fenomena baru. Al-Qur’an sejak lama sudah memberi peringatan jelas bahwa sumber kerusakan itu berasal dari “tangan-tangan manusia” (QS. Ar-Rum: 41). Penyebutan tangan dalam ayat ini sangat relevan ketika kita melihat bagaimana bencana ekologis hari ini justru dipicu oleh tindakan manusia, bukan oleh alam yang berubah sendiri.
Jika diperinci, kerusakan lingkungan yang kita hadapi sekarang adalah hasil langsung dari berbagai tindakan manusia: mulai dari pejabat yang menandatangani izin pembalakan, pelaku usaha yang memberi suap, oknum yang menerimanya, operator alat berat yang menggunduli hutan, hingga pihak yang membungkam aktivis, jurnalis, atau warga yang mencoba mengungkapkan fakta di lapangan. Sistem hukum pun kadang menjadi bagian dari masalah ketika vonis bebas dijatuhkan kepada para perusak lingkungan. Bahkan proses politik ikut memperparah situasi ketika suara rakyat bisa dibeli melalui serangan fajar dan pada akhirnya meloloskan pejabat yang tidak punya komitmen menjaga alam.
Karena itu, peringatan dalam ayat tersebut tidak hanya bersifat moral, tetapi juga diagnosa sosial: akar dari kerusakan bukanlah takdir atau sekadar bencana alam, melainkan pilihan-pilihan manusia yang mengutamakan kepentingan pribadi, ekonomi, dan kekuasaan tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Di dunia akademik, seorang sarjana pada dasarnya dibentuk untuk memahami problem sesuai bidang keilmuannya. Sarjana hukum bisa melihat pasal yang dilanggar, sarjana kedokteran bisa membaca indikasi penyakit, sarjana agama paham mana bacaan yang benar, sementara sarjana kehutanan paham fungsi hutan dan konsekuensi serius dari pembalakan liar. Namun semua pemahaman itu tidak ada artinya bila seseorang hanya mengandalkan gelar tanpa kapasitas. Mereka yang memperoleh gelar secara curang atau tidak belajar dengan benar cenderung menyalahkan orang lain dan lepas tangan ketika terjadi masalah.
Bencana yang melanda Sumatera dan Aceh belakangan ini menjadi contoh nyata bagaimana kerusakan lingkungan memiliki dampak berantai. Banjir bandang dan tanah longsor bukan sekadar “musibah”, tetapi gejala dari sistem yang rusak: hilangnya tutupan hutan, lemahnya pengawasan, dan minimnya tanggung jawab para pemangku kepentingan. Sementara masyarakat yang tinggal di wilayah rawan harus menanggung konsekuensi paling berat.
Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah: sampai kapan kerusakan ini dibiarkan? Apakah keuntungan jangka pendek dari eksploitasi alam sebanding dengan hilangnya nyawa, hancurnya rumah, dan terganggunya kehidupan ribuan orang?
Kasus-kasus seperti sumatera dan aceh seharusnya menjadi alarm keras. Pertanggungjawaban perlu ditegakkan, transparansi harus diperkuat, dan kebijakan pengelolaan lingkungan mesti diarahkan pada keberlanjutan, bukan sekadar keuntungan sesaat. Kesadaran publik juga perlu dibangun bahwa menjaga lingkungan bukan tugas satu pihak saja, melainkan tanggung jawab kolektif.
Jika akar masalahnya adalah tangan-tangan manusia, maka solusinya pun harus datang dari perubahan pada tindakan manusia: integritas dalam pejabat publik, keberanian dalam penegakan hukum, serta kesadaran masyarakat untuk tidak terjebak dalam praktik-praktik yang merusak tatanan.
Alam dapat pulih, tetapi tidak selama manusia terus merusaknya. Dan jika kita tidak berubah, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang kembali.













Discussion about this post