Sosok Imam As-Suyuthi: Ulama Ensiklopedis Abad ke-15
Jalaluddin Abdur Rahman Bin Abi Bakr As-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M) adalah salah satu ulama paling produktif dalam sejarah Islam. Lahir di Kairo, Mesir, beliau dikenal sebagai ulama ensiklopedis yang menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, mulai dari tafsir, hadis, fiqh, bahasa Arab, sejarah, hingga tasawuf.
Imam As-Suyuthi memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Dalam biografinya, beliau mengaku telah menghafal 200.000 hadis dan menulis lebih dari 600 karya ilmiah. Produktivitasnya yang mengagumkan ini membuat para ulama masa itu dan setelahnya mengakui kedalaman ilmu dan kecemerlangan pemikirannya.
Keistimewaan Kitab Al-Asybah wa An-Nazhair
Kitab “Al-Asybah wa An-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh asy-Syafi’iyyah” merupakan salah satu masterpiece Imam As-Suyuthi dalam bidang fiqh. Kitab ini membahas kaidah-kaidah fiqh (qawa’id fiqhiyyah) dalam mazhab Syafi’i beserta cabang-cabang permasalahannya.
Keistimewaan kitab ini terletak pada sistematikanya yang rapi dan komprehensif. Imam As-Suyuthi berhasil mengompilasi kaidah-kaidah fiqh yang tersebar dalam berbagai literatur ke dalam satu kesatuan yang mudah dipahami. Kitab ini menjadi rujukan penting bagi para fuqaha dalam memahami logika hukum Islam dan penerapannya dalam berbagai kasus.
Yang menarik, dalam muqaddimah (pendahuluan) kitab ini, Imam As-Suyuthi tidak hanya menjelaskan metodologi penulisan kitabnya, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang kondisi manusia dalam menyikapi ilmu pengetahuan.
Tiga Golongan Manusia dalam Pandangan Imam As-Suyuthi
Dalam muqaddimah Al-Asybah wa An-Nazhair, Imam As-Suyuthi menggambarkan realitas masyarakat yang terbagi menjadi tiga golongan dalam menyikapi ilmu dan ulama :
1. Golongan Pertama: Para Pendengki dan Pembenci
Golongan pertama adalah mereka yang dipenuhi rasa dengki dan berusaha memadamkan cahaya ilmu dengan mulut mereka. Imam As-Suyuthi menggambarkan golongan ini dengan ungkapan yang tajam:
وَكَأَنِّي بِالنَّاسِ وَقَدْ افْتَرَقُوا فِيهِ فَرْقًا: فِرْقَة قَدْ انْطَوَى عَلَى الْحَسَد جُنُوبُهُمْ، وَرَامَتْ إطْفَاء نُوره بِأَفْوَاهِهِمْ
“Seakan-akan aku melihat manusia telah terpecah menjadi beberapa golongan: golongan yang hatinya diliputi kedengkian, dan berusaha memadamkan cahayanya (ilmu) dengan mulut mereka.”*
Imam As-Suyuthi mengkritik mereka yang membandingkan ulama sejati dengan orang yang baru masuk dunia ilmu di usia tua. Beliau mempertanyakan:
وَكَيْف يُقَاس مَنْ نَشَأ فِي حِجْر الْعِلْم مُنْذُ كَانَ فِي مَهْده، وَدَأَبَ فِيهِ غُلَامًا وَشَابًّا وَكَهْلًا، حَتَّى وَصَلَ إلَى قَصْده، بِدَخِيلٍ أَقَامَ سَنَوَات فِي لَهْو وَلَعِب
“Bagaimana bisa disamakan orang yang tumbuh dalam pangkuan ilmu sejak masih di buaian, tekun mempelajarinya saat kanak-kanak, remaja, dan dewasa hingga mencapai tujuannya, dengan pendatang baru yang menghabiskan bertahun-tahun dalam kesenangan dan permainan?”
Golongan ini adalah mereka yang baru melirik ilmu di usia senja, setelah menghabiskan masa muda untuk bermain-main dan mencari keuntungan duniawi. Ketika mereka sudah tua, baru kemudian “menoleh” ke ilmu, mempelajarinya secara sepintas, puas dengan sekedar formalitas, dan rela disebut “alim” tanpa substansi yang memadai. Yang lebih ironis, mereka kemudian malah meremehkan para ulama muda yang sejak kecil menekuni ilmu.
2. Golongan Kedua: Para Jahil dan Pembuat Onar
Golongan kedua adalah mereka yang dikuasai oleh kebodohan yang tersusun (al-jahl al-murakkab). Imam As-Suyuthi menggambarkan mereka dengan karakteristik yang keras:
وَفِرْقَة: غَلَبَ عَلَيْهَا الْجَهْل الْمُرَكَّب، وَبَعُدَ عَنْهَا طَرِيق الْخَيْر وَتَنَكَّبَ، لَا تَبْرَح جِدَالًا وَلَا تَعِي مَقَالًا
“Dan golongan yang dikuasai kebodohan yang tersusun, jauh dari jalan kebaikan dan menyimpang, tidak pernah berhenti berdebat tanpa memahami pembicaraan.”
Ciri-ciri golongan ini adalah: tidak mampu menjawab dengan baik, tidak bisa bertanya dengan benar, sibuk memakan harta haram, mencampuri kehormatan orang lain, mencela orang lain di siang hari, dan tidur di malam hari. Golongan ini, menurut Imam As-Suyuthi, tidak layak untuk diajak dialog dan tidak pantas dicela ketika tidak hadir.
3. Golongan Ketiga: Para Pencari Kebenaran
Golongan ketiga adalah mereka yang diberi hidayah oleh Allah dan diilhami ketakwaan. Imam As-Suyuthi menggambarkan golongan ini dengan penuh kekaguman:
وَفِرْقَة آتَاهَا اللَّه هُدَاهَا، وَأَلْهَمهَا تَقْوَاهَا، وَزَكَّاهَا مَوْلَاهَا، فَرَأَتْ مَحَاسِنه وَسَنَاهَا
“Dan golongan yang Allah berikan hidayah kepadanya, diilhami ketakwaan, dan disucikan oleh Tuhannya, sehingga mereka melihat kebaikan-kebaikan dan cahayanya.”
Golongan ini mengakui kebenaran dengan rasa syukur dan pujian, menimba dari lautan ilmu tanpa terpengaruh celaan para pencela, meneguk dari cawan-cawan kecintaan terhadap ilmu, dan menghirup keharuman ilmu pengetahuan.
As-Suyuthi melanjutkan dengan ungkapan yang indah:
فَاعْتَرَفَتْ بِشُكْرِهَا وَثَنَاهَا، وَاغْتَرَفَتْ مَنْ بَحْرهَا وَلَمْ يَلْوِهَا عَذْلُ عَاذِلٍ وَلَا ثَنَاهَا، وَارْتَشَفَتْ مِنْ كُؤُوس حُمَّيَاهَا، وَانْتَشَقَتْ مِنْ، شَذَا عَرْفِ رَيَّاهَا
“Mereka mengakui (kebenaran ilmu) dengan syukur dan pujian, menimba dari lautannya tanpa terhalangi oleh celaan para pencela atau terhenti karenanya, meneguk dari cawan-cawan demam cintanya (terhadap ilmu), dan menghirup keharuman aromanya.”
Karakteristik golongan ini sangat mulia: mereka tidak mudah terpengaruh kritikan negatif dalam menuntut ilmu, memiliki semangat yang berkobar-kobar seperti demam dalam mencari pengetahuan, dan dapat merasakan keindahan serta keharuman ilmu pengetahuan. Mereka adalah para pencinta sejati ilmu yang menghargai setiap tetes pengetahuan yang mereka peroleh.
Imam As-Suyuthi kemudian mengkritik kebiasaan golongan pertama yang justru membanggakan usia tua mereka:
وَأَكْثَر مَا عِنْد هَذِهِ الْفِرْقَة: أَنْ تَزْدَرِي بِالشَّبَابِ، وَبِالشَّيْخُوخَةِ افْتِخَارهَا
“Yang paling menonjol dari golongan ini adalah: meremehkan para pemuda, dan membanggakan usia tua mereka.”
Imam As-Suyuthi menyebut ini sebagai
“شَكَاةٌ ظَاهِرٌ عَنْك عَارُهَا”
keluhan yang jelas terlihat aibnya. Padahal seharusnya mereka menyadari bahwa belajar sejak muda adalah tanda pujian, bukan celaan. Imam As-Suyuthi menguatkan argumennya dengan hadis:
“مَا أُوتِيَ عَالِمٌ عِلْمًا إلَّا وَهُوَ شَابٌّ”
Tidaklah seorang alim diberi ilmu kecuali ketika ia masih muda).
Imam As-Suyuthi kemudian mengungkapkan keprihatinannya akan kelangkaan golongan ini:
وَهَذِهِ طَائِفَة لَا تَكَاد تَرَاهَا، وَلَا نَسْمَع بِخَبَرِهَا فَوْق الْأَرْض وَثَرَاهَا
“Dan ini adalah golongan yang hampir tidak dapat kau lihat, dan kita tidak mendengar berita tentang mereka di atas bumi dan tanahnya.”
Kemudian beliau menutup dengan doa yang penuh harapan:
فَحَيَّاهَا اللَّه وَبَيَّاهَا، وَأَمْطَرَ عَلَيْنَا سَحَائِب فَضْله وَإِيَّاهَا
“Maka semoga Allah menghidupkan dan mencerahkan mereka, dan menurunkan kepada kita dan kepada mereka awan-awan karunia-Nya.”
Ungkapan ini menunjukkan betapa langka dan berharganya golongan ketiga ini di mata Imam As-Suyuthi. Mereka adalah orang-orang pilihan yang benar-benar memahami hakikat ilmu dan mengamalkannya dengan penuh keikhlasan.
Relevansi di Masa Kini
Klasifikasi tiga golongan manusia yang dibuat Imam As-Suyuthi lebih dari lima abad yang lalu ternyata masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat masa kini. Di era media sosial dan kemudahan akses informasi, kita masih menemukan:
- Golongan pendengki yang sering melontarkan kritik destruktif terhadap ulama dan intelektual muda tanpa dasar yang kuat
- Golongan jahil yang gemar berdebat tanpa ilmu, menyebarkan informasi tanpa verifikasi, dan lebih suka mencari sensasi daripada kebenaran
- Golongan pencari kebenaran yang dengan rendah hati terus menuntut ilmu dan mengamalkannya
Pesan Moral untuk Zaman Modern
Refleksi Imam As-Suyuthi ini mengajarkan kita pentingnya:
- Menghargai ilmu dan ulamatanpa memandang usia
- Bersikap objektif dalam menilai kualitas keilmuan seseorang
- Menghindari perdebatan tidak produktif yang hanya membuang waktu
- Terus mencari kebenaran dengan hati yang terbuka dan jiwa yang suci
Sebagai penutup, mari kita renungkan doa Imam As-Suyuthi di akhir klasifikasinya:
“فَحَيَّاهَا اللَّه وَبَيَّاهَا، وَأَمْطَرَ عَلَيْنَا سَحَائِب فَضْله وَإِيَّاهَا”
“Semoga Allah menghidupkan dan mencerahkan mereka (golongan ketiga), dan menurunkan kepada kita dan mereka awan-awan karunia-Nya.”
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Referensi
- As-Suyuthi, Jalal ad-Din Abd ar-Rahman. Al-Asybah wa An-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh asy-Syafi’iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1403 H.
Discussion about this post