Trust Issue biasa diartikan dengan “selektif” tidak mudah percaya terhadap orang lain ataupun tidak cepat-cepat mengiyakan informasi. Menarik untuk dimejahijaukan saat Trust Issue dianggap sama dengan berprasangka buruk. Dalam Islam sendiri pembawa agama ini bersabda:
(احْتَرِسُوا مِنْ النَّاسِ بِسُوءِ الظَّنِّ (أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَالْبَيْهَقِيُّ
“Berhati-hatilah terhadap sesama dengan berburuk sangka.” (HR. Thobroni dan Baihaqi)
As Shon’ani (w. 1182) , saat menjelaskan hadis tersebut beliau menulis:
في القاموس (٣): الاحتراس الاحتياط والمعنى تحفظوا من مكائد الناس وأذاهم بسوء الظن فيهم؛ لئلا يطلعوا على سرائركم وشركم وذلك أنه قد يحسن الإنسان ظنه بأحد الناس فيطلعه على سره ويبثه ما لديه من خفي أمره فيضره ويؤذيه،
“Maksud dari hadis ini adalah berhati-hati. Bagaimanapun, seseorang sering dikecewakan karena terlalu percaya, berbagi rahasia tanpa pertimbangan lantas pendengar menyebarluaskan. (Al Tanwir Syarh Jami’ al Shogir, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 2011. Vol.5 hal.354). Ini adalah definisi Trust Issue menurut sarjana muslim.
Senada dengan hadis diatas, Umar bin Khattab pernah berujar:
وَرُوِيَ عَن عُمَر بْن الْخَطَّابِ رضي الله عنه، أَنَّهُ قَالَ: احتجزوا مِن النّاس بِسوء الظَّن، وَلَا تثقوا بِكُل أحد، فَإِنَّهُ أسلم لكم
“Lindungilah diri anda dari orang lain dengan prasangka buruk, jangan mudah percaya pada setiap orang, sebab demikian lebih aman.” (Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Beirut: Dar Shodir, 1414 Vol.13. Hal. 273)
Lantas, apa perbedaan Trust Issue dengan Su’udzon?
قَالَ: ﴿إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ﴾ [الحجرات: ١٢]، وَلم يَجْعَل كُله إِثْمًا. وَحكي عَن سُفْيَان الثَّوْريّ، أَنَّهُ قَالَ: الظَّن ظنان: ظن إِثْم، وَظن لَيْسَ بإثم، فَأَما الَّذِي هُوَ إِثْم، فَالَّذِي يظنّ ظنا، وَيتَكَلَّم بِهِ. وَالَّذِي لَيْسَ بإثم، فَالَّذِي يظنّ، وَلَا يتَكَلَّم بِهِ. قلت: فَأَما اسْتِعْمَال سوء الظَّن إِذا كَانَ عَلَى وَجه الحذر وَطلب السَّلامَة مِن شَرّ النّاس، فَلَا يَأْثَم بِهِ الرجل،
“Berburuk sangka adalah salah, (sebagaimana menurut QS. Al Hujarat: 12) tapi tidak melulu hal itu menjadi tidak benar. Adalah sufyan At Tsaury, ia mengklasifikasikan prasangka sebagai berikut:
1). Kecurigaan dianggap dosa saat seseorang berspekulasi buruk tentang orang lain, lantas ia utarakan (dalam buku-buku lain ia anggap tebakannya adalah nyata).
2). Praduga tidak menjadi masalah saat hal itu sebatas dugaan saja. (Bahkan, bersu’udzon dalam rangka waspada tidaklah berdosa). (Al Baghawi, Syarh Sunnah, Beirut: Maktab Islami, 1983. Vol. 13. Hal. 111/Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. ttp: Muassisatu Al Risalah, 2001. Vol. 12. Hal. 292).
Sikap semacam ini juga mendapat legitimasi syariat, sebagaimana hadis Nabi Muhammad:
إنَّ الله تَجَاوَزَ لأُمَّتِي عمَّا حدَّثت به أنفسها مالم يتكلَّموا، أو يعملوا به
“Tuhan memaafkan hal-hal tidak terpuji yang terbesit dalam diri manusia selama tidak ia utarakan dan ia lakukan” (HR. Bukhori Muslim).
Dengan demikian, Trust Issue tidak selalu identik dengan su’udzon. Ia bisa saja menjadi bentuk tabayyun (verifikasi), kehati-hatian, dan ihtiyath, selama tidak berujung pada penghakiman batin atau ekspresi kebencian.
Sekian. Wallahu a’lam bis Sawab.
Discussion about this post