“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka memotong tangan mereka dan berkata: ‘Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.’” (QS. Yusuf: 31).
Ayat ini telah lama menjadi pusat perhatian tafsir klasik dalam tradisi Islam. Peristiwa itu bukan hanya menarik secara naratif, tetapi menyimpan ketegangan antara tubuh, persepsi, dan makna. Yang paling mencolok adalah diksi “memotong tangan mereka”—sebuah gambaran yang pada permukaannya terasa hiperbolik, nyaris teatrikal, namun tetap disampaikan sebagai fakta yang utuh dan mencengangkan. Dalam banyak kitab tafsir, seperti Tafsir al-Alūsī, at-Tahrir wa at-Tanwir, dan Ibn Katsir, ungkapan itu dimaknai secara literal, meskipun bukan dalam pengertian amputasi sempurna, melainkan sebagai bentuk luka atau goresan akibat hilangnya kesadaran. Sementara tafsir seperti Tafsir Kabīr membacanya sebagai kinayah, yakni ekspresi figuratif yang menggambarkan betapa luar biasa keelokan Yusuf hingga para perempuan itu kehilangan kendali dan secara simbolis “terluka” oleh keelokan itu.
Namun demikian, seluruh pendekatan tersebut tampaknya masih berkutat dalam wacana semantik dan batas antara literal dan figuratif. Pertanyaan yang lebih dalam ialah: pengalaman batin apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa ini? Apa makna spiritual dan eksistensial dari keterkejutan yang demikian rupa hingga tubuh pun menjadi arena keterlemparan makna? Untuk mendekati pertanyaan ini, saya ingin memperkaya pembacaan atas ayat tersebut dengan pendekatan estetika-filosofis dari Arthur Schopenhauer, khususnya dalam bukunya ‘The World as Will and Representation’, buku tiga, bagian 39. Dalam bagian itu, Schopenhauer membuat distingsi penting antara dua jenis pengalaman estetika: keindahan (yang disebut beauty) dan sublimitas (yang disebut sublime). Perasaan terhadap keduanya, menurut Schopenhauer, memang dimiliki oleh setiap manusia, tanpa memandang tingkat intelektualitasnya. Tetapi keduanya berbeda dalam efek dan kondisi yang menyebabkannya.
Keindahan, menurut Schopenhauer, adalah pengalaman ketika subjek merasa damai dan menyatu dengan objek yang diamatinya. Keindahan menenangkan. Ia adalah sesuatu yang bisa dinikmati tanpa ancaman terhadap identitas diri. Sebaliknya, sublimitas adalah pengalaman ketika subjek berhadapan dengan kekuatan besar di luar dirinya—entah alam, cahaya, atau kemuliaan—yang membuatnya merasa kecil, terasing, bahkan nyaris punah. Sublimitas, oleh karenanya, tidak membangkitkan ketenangan, melainkan keterkejutan, keterasingan, dan kekaguman yang bercampur gentar. Di hadapan sublim, kita tak lagi menjadi pengamat, melainkan terlempar dan terperangkap dalam daya yang melampaui kita.
Schopenhauer menyebutkan contoh yang menarik: sinar matahari. Di satu sisi, cahaya matahari adalah sumber keindahan—ia menampakkan segala sesuatu, menjadi sebab tampaknya warna, kehidupan, dan penglihatan. Tetapi ketika matahari menjadi begitu panas hingga mengeringkan tanah, merontokkan dedaunan, dan menyedot kehidupan, maka sinar itu berubah dari cantik menjadi agung. Yang tadinya kita pandang dan nikmati, kini menjadi sesuatu yang kita hadapi dengan gentar. Ia tetap terang, tetap indah, namun berubah menjadi kuasa yang melumpuhkan. Dalam contoh itu, keindahan dan sublimitas adalah dua sisi dari satu pengalaman yang sama, tergantung bagaimana subjek memaknainya dan dalam kondisi bagaimana ia menghadapinya.
Dengan menggunakan kerangka ini, kita bisa kembali membaca ulang QS. Yusuf: 31. Ketika para perempuan Mesir melihat Yusuf, reaksi mereka bukanlah sekadar “kagum”, tetapi kagum yang melumpuhkan. Bukan kekaguman yang tenang, melainkan yang mengguncang tubuh. Jika mereka hanya melihat keindahan dalam pengertian estetika murni, maka seharusnya yang muncul adalah keterpanaan yang membahagiakan. Namun yang terjadi justru mereka “memotong tangan mereka” dan mengucapkan bahwa Yusuf bukanlah manusia. Ini adalah bentuk kehilangan pijakan—mereka kehilangan kategori untuk memahami realitas di hadapan mereka. Yusuf tidak masuk dalam kategori manusia biasa. Maka satu-satunya cara untuk menjelaskan keberadaannya adalah dengan menisbahkannya pada yang transenden: malaikat. Dan malaikat, dalam kebudayaan religius, adalah representasi dari kemurnian ilahi, dari bentuk yang sempurna, yang tak bisa disentuh atau ditaklukkan oleh hasrat manusia.
Peristiwa itu menunjukkan adanya transisi mendadak dari keindahan menuju sublimitas. Keindahan Yusuf, yang awalnya menjadi objek gosip dan ejekan terhadap Zulaikha, ternyata justru menjadi kekuatan yang menghancurkan konstruksi sosial dan moral mereka sendiri. Mereka tidak lagi merasa menang, melainkan merasa kecil, kalah, dan takluk. Tuduhan mereka kepada Zulaikha runtuh. Mereka tidak lebih kuat dari Zulaikha; bahkan mereka lebih rapuh. Maka luka di tangan mereka bukan sekadar luka fisik, melainkan luka simbolik—perwujudan tubuh atas rasa keterasingan, ketakberdayaan, dan runtuhnya ego. Ini adalah momen ketika persepsi estetik berubah menjadi pengalaman spiritual. Mereka tidak hanya melihat keindahan; mereka melihat kuasa. Dan kuasa itu bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Tuhan yang menciptakan manusia seelok Yusuf, seagung malaikat.
Penting dicatat bahwa dalam momen itu, mereka tidak menyebut Yusuf dengan kata-kata puitik, seperti “lelaki paling tampan,” atau “makhluk luar biasa.” Yang mereka katakan justru adalah ekspresi: “Maha Sempurna Allah.” Ini adalah kalimat kekaguman yang muncul spontan. Artinya, peristiwa ini membawa mereka kepada pengalaman spiritual, kepada pengakuan akan ketakmampuan manusia dalam menciptakan keelokan semacam itu. Tubuh mereka berdarah, namun mulut mereka berzikir. Ini adalah pengalaman estetis yang berubah menjadi pengakuan eksistensial.
Dalam konteks kehidupan kita hari ini, fenomena semacam ini tidaklah asing. Kita sering kali terperangkap dalam momen-momen ketika keindahan justru melahirkan ketakutan, atau ketika sesuatu yang bercahaya justru terasa mengancam. Dalam teori konspirasi, misalnya, ada kecenderungan untuk melihat suatu tatanan besar yang tak terlihat sebagai kekuatan agung yang mengontrol hidup kita. Dalam kasus semacam itu, orang tidak sekadar merasa tertarik, tetapi merasa menjadi korban dari sistem yang terlalu besar untuk dipahami. Ketertarikan berubah menjadi kecurigaan, dan kecurigaan berubah menjadi keterasingan. Di titik ini, pengalaman sublim menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, peristiwa para perempuan yang memotong tangan mereka bukan hanya cerita masa lalu, tetapi gambaran tentang bagaimana keindahan bisa menjadi medan guncangan eksistensial. Tafsir atas ayat ini menjadi bukan semata soal apakah tangan itu benar-benar terpotong atau tidak, melainkan soal bagaimana tubuh dan kesadaran manusia menanggapi realitas yang melampaui dirinya. Luka itu adalah tafsir tubuh terhadap keindahan yang berubah menjadi kekuatan. Dan dalam luka itulah, pengalaman estetika bertemu dengan pengalaman spiritual: suatu perjumpaan dengan Sang Pencipta melalui pesona ciptaan-Nya yang paling indah, dan paling mengguncang.
Discussion about this post