Mahasiswa Al-Azhar pada masa saya kuliah di sana memiliki kebebasan dalam memilih bacaan. Lingkungan kamilah yang mendidik kebebasan itu. Saking bebasnya, kami bisa membaca buku dari aliran paling kiri sampai aliran paling kanan. Bahkan, sampai-sampai kami menyeberang hingga ke bacaan ateisme. Saya mendalami Nietzsche dan Heidegger waktu di Mesir. Dan, jikalau saya tidak mendapatkan kontrol dari para ulama di sana, niscaya saya sudah menanggalkan kepercayaan agama saya.
Berdasarkan pengalaman, bacaan sangat menentukan ‘cara pandang’ kita terhadap sesuatu. Apa yang kita baca lama-lama akan menjadi kacamata dalam memandang objek kajian. Islam, sebagai agama dan ajaran, sering menjadi objek kajian berdasarkan kacamata bacaan. Saya pernah berada dalam posisi orang yang memandang “Islam” dengan kacamata bacaan saya, dan itu pernah membuat saya merasa ‘keren’ dan ‘wah’, sampai akhirnya saya sadar bahwa saya menjadi orang ‘sok tahu’, bukan benar-benar tahu.
Saya menyadari bahwa banyak dari kita—termasuk saya sendiri di masa lalu—terlalu cepat merasa menguasai sesuatu hanya karena kita pernah membacanya. Kita berpikir bahwa dengan membaca beberapa buku filsafat atau mendengar ceramah intelektual, kita sudah memahami Islam lebih dalam dari para syekh atau ulama yang telah mengabdikan hidupnya dalam disiplin keilmuan Islam selama puluhan tahun. Kita menjadi “pseudo-intelektual”, orang yang tahu sedikit tapi merasa tahu segalanya.
Saya menyebut ini sebagai epistemologi instan—suatu cara mengetahui yang melompat dari kutipan ke kesimpulan, dari teks ke klaim besar, tanpa melalui perjalanan panjang tajrubah, kesabaran metodologis, atau keterbukaan eksistensial terhadap apa yang kita pelajari. Kita membaca al-Qur’an atau hadis seperti membaca puisi eksperimental atau tafsir strukturalis, lalu merasa telah mengerti kedalaman makna agama. Padahal, yang terjadi hanyalah kita sedang memakai kacamata yang salah.
Banyak mahasiswa atau intelektual muda yang akhirnya memandang Islam dari luar, bukan dari dalam. Mereka berjarak dengan tradisi, bahkan merasa superior terhadapnya. Mereka bangga karena mampu mengkritik, tetapi lupa bahwa kritik tanpa cinta akan berubah menjadi penghancuran, bukan penyucian. Saya pernah merasa bangga bisa mematahkan argumen para ulama klasik, tapi di balik kebanggaan itu sebenarnya tersembunyi kekosongan spiritual yang makin menganga.
Islam bukan hanya sistem doktrin atau kumpulan hukum. Ia adalah jalan penghayatan hidup yang menuntut kita untuk menyucikan niat, merendahkan hati, dan menyelaraskan antara akal dan batin. Ketika kita membedah Islam hanya dengan pisau rasio tanpa dibasuh air wudhu keikhlasan, kita sedang mencabik ruhnya dan menjadikannya objek mati yang dingin.
Hari ini, banyak yang membicarakan Islam, tetapi sedikit yang menghayatinya. Banyak yang mengutip ayat dan hadis, tetapi tidak menggigil ketika membacanya. Banyak yang merasa diri sebagai “pembaru” atau “pengkritik”, tapi tak sanggup menanggung beban rohani dari apa yang mereka ucapkan.
Saya tidak menolak bacaan filsafat. Nietzsche, Heidegger, Derrida, dan para pemikir besar lainnya tetap memberikan saya cara pandang yang tajam dan kritis. Tapi saya sadar: mereka tidak bisa menggantikan tahun-tahun yang saya habiskan ngaji kepada para ulama. Mereka bisa menjadi cermin untuk melihat bias dan keterbatasan kita, tapi bukan fondasi untuk mengukur kebenaran wahyu. Mereka alat, bukan kiblat.
Islam bukanlah ‘daging’ yang bisa kita cincang dengan alat yang kita punyai. Apakah ketika mempelajari sains dan matematika, sejurus kemudian kita bisa mencabik Islam dan memasaknya kemudian menyajikannya kepada umat? Tidak sesederhana itu, dan tidak sepolos itu. Hari ini kita banyak menyaksikan orang yang belajar sains, filsafat, dan matematika, kemudian merasa diri paling tahu dan memaksakan pisau bedahnya kepada Islam. Mereka merasa bangga ketika bisa memotong tradisi keilmuan yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi yang menjaga umat dari kegoncangan epistemologis. Mereka merasa bangga ketika bisa membantah Al-Ghazali, membungkam Al-Jurjani, dan mengebiri As-Sanusi. Mereka merasa menjadi mujtahid, tanpa tahu konsep ijtihad.
Alhasil, kita lupa bahwa agama selalu dikawal oleh ilmu yang sudah terbukti telah menjaga penyimpangan umat berpuluh generasi. Bahkan Ibn Sirin, salah seorang tabiin, pernah berkata bahwa “ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian!” Hanya dengan melihat fakta keterbelakangan umat Islam detik ini, banyak orang menyimpulkan bahwa tradisilah (turots) yang menjadi biang keladi kemunduran. Tunda dulu kesimpulan kita sampai benar-benar kita kaji lewat mulut para pewaris nabi. Jangan-jangan, sebab kemunduran kita bukanlah karena kita ‘memegang turots’, melainkan karena kita tak sepenuhnya percaya dengan ‘turots’!
Menutup bukunya “At-Turats wa at-Tajdid: Munaqasyat wa Rudud”, syekh Ahmad at-Thayyib berkata bahwa sebab kemunduran umat Islam:
“adalah bahwa kita hidup di zaman kita dengan satu kaki kita di ladang ‘Dahis dan Al-Ghabra’ dan kaki yang lain di ‘Piccadilly & Champs-Elysees’. Dan, absennya turots sejati selalu menjadi sumber ketidakseimbangan. Petuah-petuah turots yang kokoh itu akan tetap menjadi mata rantai yang hilang untuk mengembalikan keseimbangan umat Islam di era saat ini.”
Hari ini, kita tidak benar-benar hidup dalam bimbingan turots, warisan keilmuan yang pernah membawa umat Islam ke zaman kemajuan. Satu kaki kita memijak di ‘Dahis dan Al-Ghabra’, suatu tempat yang menjadi medan konflik di masa jahiliyah, dan kaki kita yang satunya memijak di ‘Piccadilly & Champs-Elysees’, dua jalan yang ada di London dan Paris, ikon Barat yang merupakan tempat wisata mewah.
Discussion about this post