Penyelenggaraan ibadah haji 1446 H/2025 M sudah di depan mata. Jemaah haji Indonesia sudah mulai diterbangkan ke Arab Saudi sejak 2 Mei kemarin. Lantas bagaimana seharusnya Haji diartikan? yuk disimak.
Menurut sementara pakar, ibadah Haji adalah gambaran nyata kelak kehidupan kita di akhirat. Semua berkumpul dari berbagai belahan dunia. Pada waktu itu, kita punya tujuan sama, menghadiri undangan pemilik semesta, tidak peduli ras, suku, kelas sosial dan kelas-kelas lainnya. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban setara. Perbedaan-perbedaan disebut, bagi Tuhan tidak ada artinya, persetan.
Pada pelaksanaan Haji pula, kita akan betul-betul sadar betapa semua yang di sana dengan kita adalah sama, mulai dari cara berpakaian dan cara beribadahnya, harapannya, dengan kesadaran semacam ini, kita kembali ingat pada apa yang ditegaskan Allah melalui kekasihnya:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوركُمْ، وَلا إلى أموالكم ،ولكن ننظر إلى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالَكُمْ، فَمَنْ كَانَ لَهُ قُلْبٌ صَالِحٌ تَخَلَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا أَنتُمْ بَنِي آدَمَ أَكْرَمُكُمْ عِنْدَ الله أَثْقَاكُمْ
Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amalan kalian. Siapa saja yang memiliki hati yang bersih, maka Allah menaruh simpati padanya. Kalian hanyalah anak cucu Adam. Yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa,” (HR. Thabrani).
Jangan sedikitpun kita bawa rasa angkuh, sombong dan gangguan-gannguan mental lainnya pada ritual suci ini. Ketahuilah, boleh jadi lebih banyak dari kita yang ditakdirkan memiliki tabungan triliunan, tapi belum punya kesempatan untuk datang dan memenuhi panggilan Tuhan.
Harapan berikutnya, dengan melaksanakan ibadah Haji, kita mulai memahami, se-kontras apapun perbedaan kita dengan sesama muslim, bahkan perbedaan yang ditengarai menjadi penyebab adu jotos, baku hantam dan ekspresi-ekspresi terlaknat lainnya, bahwa ”sebenar-benar”nya kita punya kesamaan. Sebagaiaman konsep moderat yang difirmankan oleh Allah SWT:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًاۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُۗ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia..” (QS: Al-Baqarah: 143).
Terakhir, dengan ibadah Haji ini, harapannya, bukan hanya gelar “H/HJ” yang kita bawa sebagai oleh-oleh, bukan juga segudang kurma lengkap dengan zam-zamnya. lebih dari itu, kita betul-betul fitri (menjadi polos sepolos-polosnya), membuang seluruh ego, baik berupa dendam atau keenggannan memaafkan, hingganya kita menjadi haji seperti yang disabdakan Nabi:
الحج المبرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءُ إِلَّا الْجَنَّةَ
Artinya, “Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga,” (HR Bukhari).
Wallahu a’lam bis showab
Discussion about this post