Polemik tambang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hingga kini masih hangat di keharibaan netizen, terlebih pasca Debat PBNU dan Aktivis Tambang Nikel Raja Ampat, 12 Juni 2025 lalu di YouTube Kompas TV.
Kritik metodik secara komprehensif diberikan YouTube @kulaanisiotakkio, 26 Juni 2025.[1] Dikatakan bahwa argumen PBNU lewat tulisan Gus Ulil Abshar Abdalla sejak Juni 2024, merupakan kesalahan metodik yang justru menggambarkan PBNU tergesa-gesa dalam memutuskan hukum. Terlebih sistem pengelolaannya bisa dibilang belum terstruktur.
Speaker konten mengatakan, jika alasan defisit dana baginya bermasalah. Sebab faktanya, NU mampu mengadakan Harlah Satu Abad yang megah tanpa harus nambang. Bagi saya, justru pernyataan juga bermasalah, selain kritiknya tidak menawarkan solusi. Sehingga, perlu melihat lebih utuh bagaimana NU mengambil keputusan itu.
Tambang, NU dan Muhammadiyah
Merujuk Wiryono dalam “NU dan Muhammadiyah yang Disatukan Izin Tambang,” jelas jika polemik ini tidak tegang di meja NU saja, melainkan juga Muhammadiyah. Keduanya akan mengelola tambang batu bara di Kalimantan Timur atas badan usaha milik sendiri. Bedanya, Muhammadiyah berproses kelanjutan (termasuk luas lahan), sementara NU langsung deal-dealan. Kedua ormas sedang di persimpangan antara survivalisme dan tanggung jawab ekologis-spiritual.
Dari sini, nampak NU betul-betul membutuhkan tambang sebagai sumber dana organisasi. Pada akhirnya, kedua ormas sama-sama menerobos moralitas lembaga, sejalan dengan yang dikeluhkan warganet. Sehingga kritik @kulaanisiotakkio pada PBNU juga menemukan bukti empirisnya, selain secara metodik dan teoritis. Tapi pertanyaanya?
Seberapa Urgen Problem Dana yang Dialami PBNU?
Menggereng problem dana PBNU sebagai “akal-akalan” untuk nambang, dengan hanya pembanding suksesnya Harlah belaka, justru juga akal-akalan. Channel @kulaanisiotakkio barangkali lupa membandingkan biaya membangun channelnya, dengan biaya yang harus dihabiskan NU dari belasan atau puluhan agenda yang dicanangkan PBNU dari setiap lapisan lembaga yang dinaunginya. Hal ini terlepas dari asumsi penyelewengan, yang bahkan juga niscaya dalam kepesantrenan atau Organisasi Mahasiswa sekalipun.
Merujuk AD & ART Nahdlatul Ulama hasil Muktamar ke-34, dikatakan pasal 29 ayat 1-3 bahwa sumber dana NU didapat dari uang pangkal, i’anah syahriyah, sumbangan lain, dan usaha halal.[2] Yang artinya, mengelola tambang tidaklah berseberangan dengan moral kelembagaan, hanya saja memiliki keniscayaan yang jelas berdampak buruk bagi masyarakat. Sebagaimana @kulaanisiotakkio jelaskan, bahwa rumusan yang lebih tepat adalah tambang hukumnya Haram, kecuali.
Memahami problem dana NU, sebenarnya bisa dimulai dengan melihat bagaimana pengelolaan filantropinya. Misalnya dengan pertanyaan, Mengapa Muhammadiyah lebih maju secara ekonomi, dan asetnya lebih banyak? Jika merujuk pada kajian sejarah Fauzia (2016: 172),[3] maka selain lembaga filantropi Muhammadiyah lebih dulu beroperasi, NU menurut Fauzia juga terindikasi praktik pembayaran zakat yang malah menguntungkan pejabat agamanya. Artinya, jika komite zakat NU bisa melakukan reorientasi, tanpa harus mengambil pendistribusian yang sama dengan Muhammadiyah, maka bukan tidak mungkin ini akan menambal krisis dana yang dialami.
Masalahnya, basis masyarakat NU yang menurut Akmal Haris (2022: 168 & 193) bermayoritas pedesaan,[4] tentu juga akan membedakan persentase pendapatan yang akan dikelola ketimbang Muhammadiyah yang memiliki basis perkotaan. Itu sebabnya NU memerlukan modal finansial lain, serta sumber penggalian dana yang berkelanjutan, dan halal tentunya. Sehingga pertanyaan selanjutnya adalah:
Benarkah Tambang adalah Satu-Satunya Solusi?
Jawabannya tentu tidak. Hanya saja, barangkali NU menerima tawaran tambang sebab adanya kesempatan yang diberikan pemerintah, dan kebetulan itu lebih simpel daripada harus ngide untuk buka usaha, cari investor, marketing, dan manajemennya. Apa lagi itu halal, atau haram yang bisa halal. Secara, NU dan Muhammadiyah tidak membuka tambang baru, melainkan melanjutkan yang sudah ada.
Andai tidak menambang, apakah produk-produk ekonomi yang diciptakan kelembagaan NU akan didukung warganya? Misal air mineral Shofa, Almanu, Nusaqu, beras Cap Santri, beras Nusantara, Nusantara Sagomie, Nusantara Ojek Online, dan lainnya barangkali. Disinilah kita sebagai warga NU juga harus bertanya, sudahkah kita mendukung perekonomian NU?
Terlebih dikabarkan Kompas Tv 28 Juli 2024, jika PBNU melarang pengurusnya untuk menarik iuran dari masyarakat demi kepentingan organisasi. Meski elegan, tentu ini juga bagian dari faktor krisis dana yang dialami. Padahal jika semua warga NU berdonasi 5.000 saja, itu cukup untuk membuat klinik, Mini Mall, atau penginapan.
Irfan Tamwifi dalam “Mengapa NU Tidak Sekaya Muhammadiyyah?” justru melihat problem ini dari strukturalnya. Dimana lembaga pendidikan yang berafiliasi pada NU, kebanyakan milik pribadi yang pada hakikatnya membutuhkan. Sementara pengurus kebanyakan merupakan pemilik lembaga pendidikan yang sebenarnya juga membutuhkan. Sehingga problem dana yang dikeluhkan jelas bukan akal-akalan.
Jika ia, seharusnya dengan universitas, rumah sakit, serta produk ekonomi yang telah dimiliki, harusnya NU sudah lebih sejahtera dari Muhammadiyah dengan selisih sekitar 30 juta jiwa warga yang dimiliki. Jadi jika Muhammadiyah saja melihat potensi kesejahteraan organisasi dari hasil tambang (bersyarat), maka seharusnya itu tidak aneh bagi NU.
Namun, semisal optimalisasi sistem yang diusulkan dalam agenda tambang kali ini, disalurkan untuk mengelola potensi ekonomi kreatif yang barangkali hanya perlu dikembangkan, bukan tidak mungkin problem dana itu akan sedikit bisa diatasi. Terlebih tidak harus merubah pendirian tentang kerusakan lingkungan dan eksploitasi Sumber Daya Alam di tahun 1994 dan 2007, sebagaimana teguhnya NU menolak mendistribusikan zakat pada selain 8 penerima.
Kesimpulan
Barangkali memang, PP 25/2024 merupakan pergeseran fundamental dengan dua mata pisau, di satu sisi pemerataan ekonomi dan kesejahteraan melewati ormas keagamaan. Sementara di sisi lain justru menabrak UU Minerba yang seharusnya berpihak pada lingkungan.
Amandemen yang menurut sebagian Muhammadiyah berbau politis ini,[5] juga sah jika kita baca sebagai cawe-cawe pemerintah untuk terus membuka tambang-tambang baru. Sebab wacana-wacana kosmologi seperti fiqih ekologi, eko sufisme dan esoterisme telah berhasil diredam, dengan menyusupkan pragmatisme melawati mekanisme swasta-konvensional atas dalih antroposentris. Padahal, Wahabi Lingkungan tidak semata-mata lahir dari kecintaan alam yang radikal, melainkan dari traumatik atas eksploitasi alam yang di setiap perkara, justru lebih sering merugikan masyarakat.
***
[1] Kulaan Isi Otak, “Menguji ‘Dalil Tambang’ Pbnu: Logis Atau Ngaco?,” Youtube, 6 Juli 2025.
[2] Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama: Keputusan Muktamar Ke-34 Nu Di Lampung (Jakarta: Sekjen PBNU, 2020).
[3] Amalia Fauzia, Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia (Yogyakarta: Gading Publishing, 2016).
[4] Mohammad Akmal Haris dkk, Moderasi Beragama di Kalangan Nahdlatul Ulama & Muhammadiyah (Yogyakarta : K-Media, 2022).
[5] Dani Aswara, “Ormas Keagamaan hingga Perguruan Tinggi Bisa Terima Konsesi Tambang, Muhammadiyah Akui Bersifat Politis,” Tempo.co, 28 Januari 2025.
Discussion about this post