Patria Tjahjani mengatakan jika kelainan genetik sudah diterangkan dalam QS. al-Hajj [22]:5.[1] Dalam sains ini disebabkan oleh gagalnya kromosom dalam memisah sel selama proses reproduksi (Nondisjunction). Faktor utamanya masih misteri, meski Bagheri (2015) pernah menyebut disebabkan perkawinan sedarah.[2]
Tidak heran, jika mitos disabilitas dipandang sebagai kutukan yang menemukan legitimasinya dalam kultur keagamaan. Padahal, sejak Konvensi Internasional tahun 2008, disabilitas telah diakui sebagai variasi perkembangan manusia dengan metode khusus, bukan tidak normal.
Diskriminasi Penyandang Disabilitas
Sebelum adanya Konvensi PBB tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, mitos dan teks Agama yang disalahpahami telah memutus kesempatan penyandang disabilitas untuk berprestasi dan bersosial secara normal. Merosotnya empati juga semakin menjerumuskan eksistensi sosial mereka.
Sebab, yang diganggu bukan lagi akses, tapi mental kehidupannya. Kita bisa buktikan itu dalam fenomena ‘dark jokes’ di sosial media dengan dalih ‘humor’. Alya Zahra, 3/2/2025 di laman kumparan.com mengabarkan-Menkomdigi Meutya Hafid menyatakan jika 56 % penyandang disabilitas lebih sering mengalami perundungan di internet.
Darojatun Karomalloh, 24/12/2024 di laman kemensos.go.id juga memaparkan, bahwa pekerja disabilitas masih berjumlah 0,55 % dari total tenaga kerja nasional. Menurutnya, stigma dan representasi media sama-sama mencerminkan jika keberhasilan bukanlah hal yang wajar bagi mereka.
Kondisi ini cukup kompleks, sebab dari awal mereka tidak dicetak untuk berpendidikan. Melainkan dibentuk untuk dikasihani, yang menjadikan mereka serba ketergantungan. Dalam istilah Seligman, kondisi itu disebut Learned Helplessness, dimana ketidakberdayaan yang dibiarkan akan menciptakan defisit psikologis dan neurologis. Dengan demikian, disabilitas tentu akan lebih rentan mengalaminya.
Disabilitas dalam Pandangan al-Qur’an
Setidaknya ada 5 ayat dalam al-Qur’an yang menyinggung makna cacat fisik, sementara terma lainnya berkonotasi pada cacat teologis. Yakni dalam QS. ‘Abasa [80]: 1-2, QS Ali ‘Imran [3]: 49, QS. al-Nur [24]: 61, QS. al-Fath [48]: 17 dan QS. al- Mâidah [5]: 110.
Masrur dan Tafsir (2022) mengutip keterangan Syaikh Nawawi Banten terkait teguran Allah pada Nabi dalam merespon kedatangan Ummi Maktum dibalik turunya ayat QS. ‘Abasa [80]: 1-2.[3] Begitu juga dengan Muhayah, 04/8/2021 di laman pta-banten.go.id, dengan merujuk Tafsir Munir al-Zuhaili. Keduanya menyimpulkan jika Islam menjunjung tinggi kesetaraan penyandang disabilitas.
Bahkan Muhayah menyatakan jika diskriminasi pada mereka dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan, sebab tidak ditemukan satupun dalil yang mendukung. Al-Qur’an justru mendorong pemberdayaan terhadap mereka sebagaimana al-Shabuni sebut sebagai poin dari QS. al-Nur [24]: 6 dalam Rawaiu al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam.
Kemudian, banyaknya tokoh seperti Stephen Hawking harusnya telah merobek stigma, yang bahkan dalam Islam sendiri itu tidak sedikit. Misalnya Abdurrahman bin Auf, Imam al-Tirmidzi, Thaha Husein, dan masih banyak lagi.
Temuan Sains Tentang Disabilitas
Bahkan sains lebih tegas dalam menentang diskriminasi itu. Misalnya Hehir (2016) dalam penelitiannya terhadap 68.000 siswa di Amerika Serikat.[4] Ia menyatakan bahwa penyandang disabilitas hakikatnya mampu belajar secara efektif, bahkan tidak jarang mereka menunjukkan prestasi akademik yang luar biasa.
Kemudian Silberman dalam risetnya tentang Autisme (2015),[5] ia menjelaskan jika perilaku mereka bukanlah sebuah kecacatan, melainkan ragam dari model kognisi yang alamiah. Bahkan dengan kondisi demikian, mereka mampu memiliki otak yang lebih simetris dari kita.
Demikian menurut Rosdianah (2024) sebab sistem koneksi antara tubuh, otak, dan saraf, memang memiliki sifat dasar untuk beradaptasi.[6] Termasuk bagi penyandang disabilitas Dalam otak, dikenal neuroplastisitas. Sebuah kemampuan adaptasi stimulus yang bahkan akan aktif setelah mengalami cedera. Sisa jaringan yang tidak rusak akan beradaptasi dan mengambil alih fungsi melalui sistem reorganisasi.
Itu juga berlaku dalam mekanisme fisiologis (Homeostasis). Makanya, tidak jarang mereka memiliki kekuatan kognitif atau otot tertentu yang jauh lebih kuat dari yang lain.Sementara dari sisi psikologis, Masten (2001) menyatakan bahwa disabilitas berkembang bukan karena sebuah keajaiban, melainkan sebab kemampuan pulih (Resiliensi) merupakan hal universal dan tidak langka bagi mereka.[7]
Lain halnya dengan hasil penelitian Accenture (2018),[8] sebuah perusahaan global di Irlandia. Dalam riset selama 3 tahun, menyimpulkan bahwa 140 dengan pekerja disabilitas di Amerika Serikat, telah mengalami 28 % kenaikan pendapatan. Survei ini bahkan mengatakan bahwa pekerja disabilitas memiliki loyalitas kerja tinggi, absensi lebih rendah, dan motivasi kerja yang kuat.
Meski fakta ini sangat bergantung pada kadar kerusakan dan inklusivitas lingkungan, namun Ableisme tetap saja tidak seharusnya berlaku dalam masyarakat yang mengaku modern. Dalam istilah, ini dikenal dengan neurodiversity, sebuah definisi yang menolak neurotypical sebagai dikotomi, dan menuntut agar disabilitas dikeluarkan dari kajian patologi neurologis.[9]
Simpulan
Secara konteks QS al-Hajj [22]:5 memastikan jika Yaumul Ba’ats akan terjadi dengan bukti diferensiasi penciptaan manusia (al-Razi, 2004).[10] Menurut al-Baghawi (1997), dari fenomena ini manusia justru akan mengerti atas kewajiban, larangan, dan kebutuhan mereka dalam beribadah.[11] Sementara al-Baqa’i (2006) mengatakan jika banyaknya variasi yang tidak mungkin hanya gara-gara hukum alam ini, membuktikan bagaimana besar dan luasnya anugerah dari Allah.[12] Dalam artian, Ableisme juga telah menolak bahwa disabilitas merupakan bagian dari ragam anugerah itu.
***
[1] Nur Patria Tjahjani, “Kelainan Genetik Klasik: Tinjauan Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an”, Mudarrisa, Vol. 5, No. 2, (2013), 237 & 247
[2] Mansooreh Bagheri dkk, “A Study of Consanguineous Marriage as A Risk Factor for Developing Comitant Strabismus”, Community Genet, (2015), 177–180
[3] Masrur & Tafsir, Penafsiran Ayat Difabel dalam Al-Qur’an Perspektif Mufassir Nusantara (Semarang, UIN Walisongo, 2022), 6 & 33.
[4] Thomas Hehir dkk, A Summary of the Evidence on Inclusive Education (Brazil: Abt Associates, 2016), p. 13–14.
[5] Steve Silberman, NeuroTribes: The Legacy of Autism and the Future of Neurodiversity (New York: Avery, 2015), 20 & 367.
[6] Rosdianah, Neuroplastisitas: Kemampuan Otak Beradaptasi (Jakarta: Bukuloka, 2024), 29-49.
[7] Ann S. Masten, “Ordinary magic: Resilience Processes in Development,” American Psychologist, vol. 56, no. 3, (2001), p. 227–238.
[8] Accent on the Future, Getting to Equal: The Disability Inclusion Advantage (Alexandria: Disability.IN, 2018), p.3-4
[9] Robert Chapman, “Defining Neurodiversity for Research and Practice”. (Boca Raton: Routledge, 2020), 220.
[10] Fakhruddin al-Razi, Mafatihul Ghaib, vol. 23 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), p. 8
[11] Muhammad al-Husayn al-Baghawi, Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, vol. 5 (Riyadh: Dar Taiba, 1997), p.366.
[12] Burhanuddin al-Baqa’i, Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, vol.13 (Beirut: Darul Kutub Islamiyah, 2006), P. 9.
Discussion about this post