Kiprah Syaikh Baqir Al Jugjawi tsumma Al – Makki dalam transmisi sanad keilmuan di Nusantara tidaklah diragukan lagi. Darinya, Syaikh Yasin bin Isa Al – Fadani yang bergelar Al – Musnid Ad – Dunya meriwayatkan berbagai sanad fan keilmuan.
Syaikh Baqir secara kekerabatan terhitung masih keponakan dari KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Karena kakak dari Nyai Walidah Dahlan, yakni Kiai Lurah Noor merupakan ayah dari Syaikh Baqir al – Jugjawi yang pada masanya mendapat mandat dari Kiai Penghulu sebagai Kepala Urusan Jama’ah Masjid Ageng Keraton Yogyakarta. Namun apa jadinya jika Syaikh Baqir yang telah lama mendiami bumi Haramain secara tiba-tiba diminta pulang oleh pamannya, KH. Ahmad Dahlan guna meneruskan estafet kepemimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah.
Sebelum jauh kesana, mari kita mengulas tentang riwayat hidup Syaikh Baqir Al – Jugjawi yang pada mudanya sempat ikut majelis munadzarah yang dilakukan oleh pamannya, KH. Ahmad Dahlan bersama dengan beberapa ulama’ di wilayah Mataram Islam guna mendiskusikan kiblat Masjid Ageng Keraton Yogyakarta.
Syaikh Baqir yang memiliki nama lengkap Muhammad Baqir merupakan putra Kiai Lurah Noor dan Bu Nyai Noor yang lahir pada tahun 1888. Bersamaan dengan itu, di tatar Banten telah berlangsung pemberontakan petani Cilegon yang diinisiasi oleh Syekh Abdul Karim al – Bantani, wakil khalifah TQN (Tarekat Qadariyyah wan Naqsyabandiyyah) karena intimidasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial.
Terlahir sebagai kalangan trah Bangsawan tidak membuat semangat Baqir muda menimba ilmu kepada siapa saja di masa mudanya. 8 tahun sebelum peristiwa munadzarah berlangsung, Baqir muda yang berusia 3 tahun diajak ayahnya menunaikan ibadah haji serta menimba ilmu di Makkah.
Di tanah suci, Baqir yang sudah menguasai ilmu agama dasar tidaklah kesulitan ketika menimba ilmu kepada ulama’ besar disana seperti: Syaikh Mahfudz bin Abdullah At Tarmasi, Syaikh Ahmad Khatib Al – Minangkabawi, Sayyid Husein bin Muhammad Al Hibshi, Sayyid Muhammad bin Salim As – Sirri, Syaikh Muhammad Musa Al – Minsyawi, Syaikh Abdul Karim Ad – Daghestani, Syaikh Yusuf bin Ismail An – Nabhani, Syaikh Muhammad Abdul Hayyi Al – Kattani, Syaikh Abi Syu’aib Ash – Shiddiqi, Sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan Al Madani dll.[1]
Disinyalir pasca pembetulan arah kiblat Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta, Syaikh Baqir memohon kepada keluarganya untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di Haramain.
Di Mekkah, beliau mengajar di pelataran Masjidil Haram (entah halaqah beliau berada dimana karena tidak ada catatan pasti yang menuliskan hal itu). Hingga pada tanggal 12 November 1912, paman Syaikh Baqir yakni KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyyah. Kemudian setelah 10 tahun organisasi sosial kemasyarakatan itu berdiri, tepatnya pada tahun 1922. KH. Ahmad Dahlan mengutus salah satu murid pertama dan adik iparnya yang bernama Kiai Sudja’ untuk membawa misi ke Mekkah guna mengenalkan Muhammadiyyah kepada kaum muslimin disana, sekaligus meminta dengan hormat kepada keponakannya Syaikh Baqir Al Jugjawi untuk kembali ke kampung halaman. Kiai Dahlan merasa selain karena usia sudah renta, diperlukan kaderisasi penerus kepemimpinan Persyarikatan Muhammadiyyah dan harapan itu jatuh kepada Syaikh Baqir.[2]
Maka berangkatlah Kiai Sudja’ ke Makkah pada tahun itu bersama M. Wiryopertomo yang usianya lebih muda. Meskipun ditengah perjalanan kawan Kiai Sudja’ tersebut sakit hingga ketika baru saja beberapa hari mendarat di Pelabuhan Jeddah, Wiryopertomo berpulang ke hariban ilahi terlebih dahulu. Seusai berurusan dengan Mudir Syatroh (Kepala Kepolisian) setempat guna pengurusan jenazah dan barang tinggalannya, Kiai Sudja’ akhirnya baru bisa memasuki kota Mekkah dan ditempatkan di sebuah pemondokan khusus yang mana pemondokan tersebut merupakan wakaf dari Kesultanan Mataram Islam yang diperuntukkan bagi warganya yang menunaikan haji atau yang sedang menimba ilmu di tanah suci.[3]
Baru saja tiba di pemondokan, Hadji Sudja’ pun sempat ditanya-tanya oleh beberapa Masyayikh Jawa yang sudah lama menetap di Mekkah. Dikarenakan di Mekkah berhembus kabar angin bahwa Muhammadiyyah itu sama dengan Wahabi, padahal beda.
Sebelum Kiai Sudja’ bertemu dengan Syaikh Baqir di kediamannya, terlebih dahulu Syaikh Baqir tiba di pemondokannya. Dengan menggunakan imamah dan jubah ala penduduk Makkawi, Syaikh Baqir menyambut dengan ramah dan hangat kehadiran tamu-tamu dari kampung halamannya. Bahkan keramahan beliau ini tidak hanya ditampakkan kepada para kerabat dekatnya, namun kepada semua lapisan masyarakat Syaikh Baqir terkenal sebagai ulama’ yang ramah.
Salah satu tokoh yang merasakan keramahannya adalah R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, Vice – Counsul Nedherlands Indische di Jeddah. Setelah beramah tamah di pemondokan, Syaikh Baqir mempersilahkan Kiai Sudja’ untuk berkunjung ke kediamannya yang terletak di distrik Al Ajyad. Beberapa hari kemudian Kiai Sudja’ bersilahturrahim ke kediaman beliau seraya menunjukkan beberapa foto perkembangan Muhammadiyyah yang dirintis oleh pamannya di kampung halamannya.
Tak lupa selembar demi selembar foto diamati dengan seksama oleh Syaikh Baqir sembari mengajukan beberapa pertanyaan. Setelah pemaparan tersebut Syaikh Baqir bertanya kepada Kiai Sudja’, “Apakah amanat Pak Cilik Ketib Amin yang akan disampaikan kepada saya bila Kang Sudja’ sudah sampai di rumah saya ini?”. Kiai Sudja’ pun menerangkan bahwa amanat tersebut adalah :
- Baqir suruh pulang ke Jawa, ada apa dia di Mekkah ? Mekkah sudah banyak ulama’ yang sama mengajar, bahkan di Mekkah merupakan sumber ulama’ dari segala bangsa yang mengajar, baik di Masjidil Haram, di rumah – rumah, di rubath – rubath, dan sumber murid – murid dari segala bangsa juga sama belajar.
- Mekkah satu negeri mulia yang diliputi tanah Haram, Tanah Suci, yang tidak masuk seorang di luar Islam di dalamnya. Sehingga penduduk Mekkah seluruhnya kaum Muslimin dan Muslimat yang tidak akan membutuhkan pelajaran agama Islam daripada Baqir.
- Baqir mesti pulang, Baqir mesti pulang, Baqir mesti pulang ke Tanah Jawa. Kaum muslimin tanah Jawa baik muslimin maupun muslimatnya dari segala lapisan karena dengan lancarnya para muballigh dan muballighat, maka sama sadarlah mereka itu dan berduyun – duyun sama mengunjungi pengajian yang didatangi muballigh – muballighat di tiap –tiap waktu dan tempat yang telah ditentukan. Tetapi sayang sekali bagi mereka golongan terpelajar dan cerdik pandai yang tidak dapat berkunjung di tempat – tempat tersebut, karena tidak bersesuaian saat furshah (peluang) nya. Mereka ingin berkunjung kepada kiai – kiainya, tetapi hari liburnya itu juga tidak tentu kalau kiai ada di rumah, karena sering kejadian pada hari itu sudah berjanji kepada suatu kelompok cerdik pandai terpelajar di suatu tempat. Oleh karena itu, besar harapanku Baqir harus pulang ke Jawa. Walaupun dengan cara yang bagaimana juga.[4]
Syaikh Baqir pun merenung lama dan terpaksa beliau menolak halus ajakan pamannya ini. Karena selain masih banyak waktu mengajar beliau yang belum rampung, anaknya yang bernama Abdullah Nuri masih dalam tahap mengkhatamkan hafalan Al – Qur’an – nya selama dua bulan di Madinah.
Bersamaan dengan itu, beberapa thalabah (santri) dari Nusantara secara bergilir datang mengaji kepadanya, salah satu dari mereka adalah Kiai Zubair Dahlan dan Kiai Imam Khalil yang berasal dari Sarang, Rembang.
Meskipun Syaikh Baqir urung pulang ke tanah Jawa, selain karena isyarat yang disampaikan oleh seorang Wali Zambil di Mekkah bahwa Syaikh Baqir akan mukim di tanah suci tersebut sampai akhir hayatnya.[5] Beliau tetap berkontribusi aktif membantu persyarikatan yang dirintis oleh pamannya tersebut dengan menjadi kontributor majalah Mir’atu al Muhammadiyyah yang pertama kali terbit di Jawa pada tanggal 14 Januari 1927 atau lima tahun semenjak kepergian pamannya, KH. Ahmad Dahlan yang wafat pada tanggal 23 Februari 1923.
Syaikh Baqir Al – Jugjawi sendiri baru berpulang ke hariban Ilahi pada hari Ahad, tanggal 27 Muharram 1363 H / 23 Januari 1944 setelah beliau cukup lama menderita penyakit pernafasan. Beliau meninggalkan seorang istri yang bernama Nyai Salamah dan beberapa putra – putri yang bernama Abdul Halim, Noer, Fatimah, Aisyah, dan Abdullah Nuri.[6]
Semenjak kemangkatan Syaikh Baqir, hubungan keluarga bani Muhammad Noor dari Kiai Hanad Noor dan Syaikh Baqir Noor Al Jugjawi yang semula terjalin akrab kini miss communication, Nyai Chamamah yang merupakan putri Kiai Hanad Noor sendiri sampai ditahun 2020 masih berusaha mencari kabar keberadaan keluarga Syaikh Baqir meskipun hasilnya nihil.[7]
Waba’du, dari kisah Syaikh Baqir ini dapat kita simpulkan bahwa antara NU – Muhammadiyyah terdapat mata rantai emas sanad keilmuan yang tentunya apabila ada perbedaan dalam hal furu’ tidaklah perlu kita perdebatkan secara serius dan berlarut – larut lebih dalam. Wallahu A’lam…
*****
[1] Amirul Ulum, “Syaikh Baqir Al – Jugjawi : Titik Nun NU – Muhammadiyah”, (Yogyakarta : CV. Global Press, 2021), halaman 74 – 78.
[2] HM. Sudja’, “Cerita Tentang KH. Ahmad Dahlan : Catatan Hadji Muhammad Sudja’”, (Yogyakarta : Penerbit Suara Muhammadiyyah, 2021), halaman 164.
[3] Amirul Ulum, “Syaikh Baqir Al – Jugjawi : Titik Nun NU – Muhammadiyah”, (Yogyakarta : CV. Global Press, 2021), halaman 71.
[4] HM. Sudja’, “Cerita Tentang KH. Ahmad Dahlan : Catatan Hadji Muhammad Sudja’”, (Yogyakarta : Penerbit Suara Muhammadiyyah, 2021), halaman 190 – 191.
[5] Amirul Ulum, “Syaikh Baqir Al – Jugjawi : Titik Nun NU – Muhammadiyah”, (Yogyakarta : CV. Global Press, 2021), halaman 42 – 45.
[6] Ibid, 113.
[7] Ibid, 115.
Discussion about this post