Tulisan ini membahas tentang kisah ahli ibadah yang durhaka kepada orang tuanya pada masa Nabi Muhammad saw. Sumber utama tulisan ini adalah kitab Tanqīḥ al-Qawl al-Ḥaśīś fī Syarḥ Lubāb al-Ḥadīś karya Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī (hlm. 49-50). Pertama, ‘Alqamah. Dia adalah seorang sahabat yang ahli ibadah dan sedekah.
Suatu ketika dia sakit keras dan mengalami kesulitan dalam sakratulmaut. Oleh karena itu, istrinya mengutus seseorang untuk memberitahukan keadaan suaminya tersebut kepada Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw. mendengar kabar tersebut, beliau kemudian pergi ke rumah ‘Alqamah bersama para sahabatnya.
Sesampainya di sana, beliau menyapa ‘Alqamah seraya berkata, “Wahai ‘Alqamah, bagaimana kondisimu?” Namun, dia tidak menjawab pertanyaan Nabi saw. tersebut. Dia juga tidak mengatakan sepatah kata pun ketika melihat Nabi saw. Melihat hal itu, Nabi saw. mengerti bahwa ‘Alqamah dalam bahaya. Maka, beliau me-nalkinkan kalimah syahadat kepada ‘Alqamah, tetapi dia tidak (bisa) mengucapkannya. Beliau mengulanginya berkali-kali, tetapi dia tetap tidak (bisa) mengucapkannya.
Menyaksikan keanehan tersebut, Nabi saw. merasa bahwa ‘Alqamah betul-betul dalam bahaya. Beliau kemudian bertanya kepada para sahabat, “Apakah dia memiliki seorang ayah?” Mereka menjawab, “Ayahnya sudah meninggal. Akan tetapi, dia masih punya seorang ibu yang sudah tua renta.” Nabi saw. pun menyuruh para sahabat untuk memanggil ibunya tersebut.
Setelah mereka membawa ibunya ‘Alqamah ke hadapan Nabi saw., maka beliau bertanya mengenai sifat ‘Alqamah kepada ibunya. Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia adalah orang yang ahli puasa, sedekah, dan salat. Dia juga mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Akan tetapi, saya marah dan benci kepadanya karena dia lebih mengutamakan istrinya daripada saya.”
Mendengar hal itu, Nabi saw. kemudian berkata kepada beberapa sahabat, “Pergilah dan kumpulkanlah kayu bakar sehingga aku bisa membakar ‘Alqamah.” Mendengar gertakan Nabi saw. tersebut, sang ibu lalu berkata, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau membakar anakku dan buah hatiku.” Nabi saw. menjawab, “Siksaan Allah lebih pedih dan lebih keras. Sesungguhnya Allah tidak rida kepada ‘Alqamah tanpa ridamu. Dia juga tidak akan menerima salatnya, puasanya, dan sedekahnya ‘Alqamah selama engkau masih marah dan benci kepadanya.” Sang ibu kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya menjadikan Allah dan engkau sebagai saksi bahwa saya sudah rida kepadanya.”
Lalu, Nabi saw. menghampiri ‘Alqamah dan menalkinkan kalimah syahadat kepadanya. Maka, dia pun bisa mengucapkan kalimah syahadat, lalu meninggal. Setelah dia dimandikan, disalati, dan dimakamkan, maka Nabi saw. berdiri di pinggir kuburannya seraya berkata, “Wahai kalangan Ansar dan Muhajirin, barang siapa yang lebih mengutamakan istrinya daripada ibunya, maka Allah tidak akan menerima ibadahnya, baik sunah maupun fardu.”
Kedua, ‘Abdullāh bin Salām. Suatu ketika Sayyidina ‘Alī bin Abī Ṭālib dan sekelompok sahabat sedang duduk bersama Nabi Muhammad saw. Lalu, tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. seraya memanggil salam. Maka, mereka pun menjawab salam tersebut. Setelah itu, laki-laki itu berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ‘Abdullāh bin Salām mengundang Anda ke rumahnya untuk berpamitan kepada Anda. Sebab, sekarang dia sedang sakit parah dan dalam sakratulmaut.”
Setelah mendengar penuturan laki-laki tersebut, Nabi saw. langsung berdiri seraya mengajak para sahabat yang sedang duduk bersama beliau untuk menjenguk ‘Abdullāh bin Salām. Lalu, mereka berangkat menuju rumah ‘Abdullāh bin Salām. Sesampainya di sana, mereka meminta izin kepada ‘Abdullāh bin Salām untuk masuk ke dalam rumahnya. Setelah masuk ke dalam, maka mereka menjumpai ‘Abdullāh bin Salām dalam keadaan sakratulmaut.
Lalu, Nabi saw. duduk di samping kepala ‘Abdullāh bin Salām seraya berkata, “Wahai ‘Abdullāh, katakanlah asyhadu an lā ilāha illallāh waḥdahū lā syarīka lahū wa anna muḥammadan ‘abduhū wa rasūluhū.” Beliau mengulang kalimat itu di samping telinga ‘Abdullāh bin Salām sebanyak tiga kali, tetapi dia tidak (bisa) mengucapkannya. Maka, Nabi saw. berkata, “Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil ‘aẓīm. Wahai Bilāl, coba kamu pergi ke istrinya, lalu tanyakan kepadanya mengenai perbuatan-perbuatan dan kesibukan-kesibukan yang dilakukan oleh suaminya selama ini.”
Maka, Bilāl pun bertanya mengenai hal tersebut kepada istrinya ‘Abdullāh bin Salām. Lalu, dia menjawab, “Wahai Bilāl, demi hak Rasulullah, saya tidak pernah melihat dia meninggalkan salat di belakang Rasulullah saw. sejak saya menikah dengannya. Dan tidak berlalu suatu hari, kecuali dia telah bersedekah karena Allah.” Mengetahui kelakuan baik ‘Abdullāh bin Salām tersebut (yaitu senantiasa salat berjemaah bersama Nabi saw. dan bersedekah setiap hari), maka Nabi saw. merasa heran sembari berkata, “Sungguh hal ini adalah sesuatu yang sangat aneh. Wahai Bilāl, coba tanyakan kepada istrinya, apakah dia masih memiliki seorang ibu?” Lalu, sang istri menjawab, “Sesungguhnya dia (ibunya ‘Abdullāh bin Salām) sedang marah kepadanya.” Maka, Nabi saw. menyuruh Bilāl untuk memanggil ibunya ‘Abdullāh bin Salām.
Bilāl pun bergegas menuju ibunya ‘Abdullāh bin Salām. Setelah bertemu, maka Bilāl berkata kepadanya, “Ayo penuhi panggilan Nabi saw.” Dia bertanya, “Untuk apa beliau memanggil saya?” Bilāl menjawab, “Beliau mau memperbaiki hubungan Anda dengan putra Anda, ‘Abdullāh. Sebab, dia sekarang sedang sakratulmaut.” Dia pun menolak ajakan Bilāl seraya berkata, “Demi hak Rasululla saw., aku tidak akan pergi ke sana. Dia (‘Abdullāh bin Salām) telah menyakitiku, dan aku tidak akan mengampuninya, baik di dunia maupun di akhirat.” Lalu, Bilāl memberitahukan hal itu kepada Nabi saw.
Maka, beliau menyuruh Sayyidina ‘Umar dan Sayyidina ‘Alī untuk menjemputnya. Setelah sampai di kediaman ibunya ‘Abdullāh bin Salām, maka mereka berkata kepadanya, “Wahai nenek, sesungguhnya Nabi saw. memanggil Anda.” Dia berkata, “Apa yang beliau inginkan dari saya? Apakah beliau memiliki keperluan?” Mereka menjawab, “Makanya, Anda harus ikut kami sekarang.”
Akhirnya dia berangkat menuju Nabi saw. bersama kedua sahabat itu. Setelah sampai di hadapan Nabi saw., maka beliau berkata, “Wahai nenek, lihatlah anakmu dan keadaannya (yang sedang kesusahan dalam sakratulmaut).” Setelah dia melihat anaknya, dia berkata, “Wahai anakku, sekarang aku tidak akan mengampunimu, baik di dunia maupun di akhirat.” Nabi saw. berkata, “Wahai nenek, takutlah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla, dan ampunilah dia (‘Abdullāh bin Salām).” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin saya mengampuninya, sedangkan dia membeci saya, menjauhi saya, memukul saya, dan mengusir saya dari rumahnya hanya demi istrinya semata.”
Nabi saw. berkata, “Ampunilah dia.” Lalu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya menjadikan Anda dan orang-orang yang bersama Anda sebagai saksi bahwa saya telah mengampuniya.” Maka, Nabi saw. berkata, “Wahai ‘Abdullāh, ucapkanlah asyhadu an lā ilāha illallāh waḥdahū lā syarīka lahū wa anna muḥammadan ‘abduhū wa rasūluhū.” ‘Abdullāh bin Salām pun mengucapkan kalimat syahadat tersebut dengan lantang, lalu dia meninggal seketika itu. Ketika dia sudah disalati dan dimakamkan, maka Nabi saw. berpidato seraya berkata, “Wahai orang-orang muslim, ingatlah, barang siapa yang memiliki ibu, tetapi dia tidak berbakti dan berbuat baik kepadanya, maka dia akan meninggal dalam keadaan tidak bersyahadat.” Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…