“Kata para pendahulu, membunuh pemikir mungkin saja dilakukan, tapi tidak dengan pemikirannya.” Ungkapan ini terasa pas menggambarkan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Meski fisiknya tak lagi segagah dulu dan ia jarang turun langsung ke “medan perang,” pemikirannya tetap melesat hingga hari ini. Melalui karya, murid, dan para pengkajinya, ia terus bertarung tanpa batas.
Sejak awal, saya tertarik pada buku Rasional Tanpa Menjadi Liberal: Menjawab Tantangan Liberalisasi Pemikiran Islam. Buku berisi kumpulan artikel tokoh-tokoh Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini bukan hanya layak dibaca oleh kami para “mahasantri,” tetapi juga oleh para pengkaji pemikiran Islam, bahkan oleh kaum liberalis dan orientalis.
Fanatisme buta jelas fatal, tetapi mempertahankan keyakinan bahwa agama kami benar adalah kewajiban. Jika pluralisme dimaknai sebagai toleransi, tentu tidak masalah. Namun, saat membenarkan agama lain dianggap bagian dari toleransi, di sinilah letak kekeliruannya (h. 124–192).
Sebagaimana ditegaskan dalam buku ini, latar belakang pemikir memengaruhi objektivitasnya. Sebagai muslim, kami meneliti objek berdasarkan worldview Islam. Sebaliknya, orientalis Barat mengkaji Al-Qur’an, budaya, dan peradaban Islam dengan perspektif mereka sendiri, sehingga hasil penelitian cenderung bias (h. 240–302).
Meski demikian, membaca buku ini cukup melelahkan. Bagaimana tidak, beberapa penulis membiarkan kutipan berbahasa Inggris tanpa terjemah—sebuah hal yang cukup menguji kesabaran pembaca seperti kami.
Identitas Buku
Judul: Rasional Tanpa Menjadi Liberal
Penulis: Hamid Fahmy Zarkasyi, dkk.
Penerbit: INSISTS
Halaman: xxiii + 384 hlm.
Tahun: 2021
Genre: Pemikiran Islam
Link : https://s.shopee.co.id/8fIvmFn45I
Discussion about this post