Kota Andalusia pada masa Dinasti Umawiyah II yang berada di Eropa, Andalusia atau yang sekarang kita sebut dengan negara Spanyol memiliki peradaban Islam yang sangat luar biasa yang berkembang pada zamannya. Tidak hanya keilmuan saja yang berkembang pesat, tetapi kota Andalusia terkenal dengan ulama-ulama yang hebat pula, salah satunya adalah Imam Ibnu Malik, yang bernama lengkap Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah Ibnu Malik al-Thay.
Beliau seorang ulama yang mengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sesuai namanya, Alfiyah yang bermakna “seribu dua” yang mana bait-baitnya berjumlah sebanyak 1002 bait. Kitab ini juga disusun dengan bahasa yang sangat sederhana dan menggunakan majas yang sangat indah yang menjadi rujukan ulama-ulama Ilmu Nahwu di setiap penjuru dunia.
Kitab ini juga menjadi primadona berbagai pesantren di Indonesia. Kitab yang sangat luar biasa dengan bait-baitnya yang memukau dan segala keberkahan yang menyertai, hal ini ini menjadi sebuah pencapaian seorang santri dalam memahaminya.
Terdapat kisah yang sangat menarik tentang penyusunan kitab Alfiyah Ibnu Malik ini yang bisa di jadikan ibrah atau pembelajaran bagi kita semua khususnya di Era milenial ini. Imam Ibnu Malik dalam menyusun kitabnya ketika menulis nadhaman sampai pada nadham
فا ئقة ألفية ابن معطي
Artinya: “Kitab Alfiyah yang aku tulis mengungguli kitab Alfiyah karya Ibnu Mu’thi”
Beliau Menambah Lagi:
فائقة منها بأ لف بيت
Artinya: “Mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”
Sampai pada kalimat ini, Ibnu Malik kehilangan inspirasi untuk melanjutkan nadhomnya. Beliau berusaha melanjutkan namun hingga sampai beberapa hari belum juga disempurnakan. Pada suatu malam beliau bermimpi bertemu dengan sesorang yang tak lain adalah gurunya sendiri imam Ibnu Mukti. Dalam mimpi tersebut, seseorang itu bertanya, “Aku dengar kamu mengarang kitab Alfiyah dalam Ilmu Nahwu?”
Imam Ibnu Malik menjawab: “Iya, benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Sampai pada nadham mana engkau menulisnya?”
Ibnu Malik menjawab: “Sampai pada ‘fai’qatan minha bi alfi baiti”
Orang itu bertanya, apa yang membuatmu tidak menyempurnakannya?
Beliau menjawab: “Sudah beberapa hari aku tidak bisa melanjutkan menulis Nadham.”
Orang itu bertanya lagi: “Apakah kamu ingin meyempurnakanya?”
“Tentu.” jawab Ibnu Malik.
Kemudian orang tersebut berkata:
فَائِقَـةً مِنْهُ بِألْـفِ بَيْتِ ¤ وَالْحَيُّ يَغْلِبُ ألْفَ مَيِّـتِ
“Mengungguli dari Alfiyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait”.
“Dan orang masih hidup bisa mengalahkan seribu orang mati”.
Terperangah Ibnu Malik dengan perkataan itu, Ibnu Malik bertanya: “Apakah anda Ibnu Mu’thi?” “Betul.” jawab orang itu. Ibnu Malik merasa malu kepada beliau. Dan imam Ibnu Malik Memohon Kepada Allah dan meminta Maaf kepada gurunya akan kesombongan nya. Keesokan harinya, Ibnu Malik menghapus bait yang tidak sempurna itu, dan menggantinya dengan bait lain yang isinya memuji kehebatan Ibnu Mu’thi yaitu:
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau (Ibnu Mu’thi) lebih memperoleh keutamaan karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah.”
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
“Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat.”
Pada sejatinya seorang guru adalah yang paling utama, ketika seorang murid bisa mengalahkan gurunya dalam segi keilmuan nya, tetap yang akan mendapat keberkahan dan jariyah nya adalah gurunya, maka jangan sekali-kali kita sombong terhadap guru kita, karena pada hakikatnya guru lah yang mendidik Rohani kita agar kita bisa mengenal tuhan kita, Maka sepantasnya guru memiliki derajat yang mulia jika dihadiakan seperti ganjaranya seribu dirham.
Pada Era milenial ini banyak sekali para murid yang tidak mengahargai gurunya, kurangnya sikap tawadhu kepada gurunya, selalu sombong terhadap gurunya, sehingga merasa dari segi keilmuan dia lebih hebat dari gurunya. Karena dikatakan bahwasanya “Al-Adabu fauqol Ilmi” adab, akhak di atas segala-galanya bahkan di atas ilmu sekalipun. Sebaiknya sebagai seorang peserta didik hendaklah menghargai guru, menghormati guru, bersikap tawadhu kepada guru, karena ketika guru ridho kepada kita insyaallah ilmu yang akan disampaikan kepada kita selama ini bisa bermanfaat buat diri kita sendiri dan orang lain.
Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang ulama hebat bisa kehilangan ilmunya, kehilangan hafalanya karena sombong terhadap gurunya. Apalagi kita yang hanya manusia biasa jauh dari kata sempurna dan banyak kekuranganya, tidak sepantasnya kita sombong terhadap guru kita.
Karena guru adalah murabbi bagi kita, guru yang mendidik rohani kita dan guru lah mengajarkan segalanya kepada kita, ayolah teman-teman semua perbaiki diri kita, hormatilah dan tawadhu’-lah kepada guru kita agar apa yang kita pelajari, yang kita dapatkan dari guru kita bisa bermanfaat untuk kita dan orang lain.