Indonesia, kendati bukan negara Islam, adalah negara dengan muslim terbanyak di Dunia. Tak ayal, jumlah tempat ibadahnya (baca: masjid) juga tidak sedikit. Di sisi lain, para pengelolanya berbondong-bondong memperindah tampilan masjid dengan berbagai ornamen.
Adalah benar adanya bahwa menghias masjid termasuk dari mensyiarkan agama. Sebagaimana dikutip oleh Az Zarkasyi dalam I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid h. 336:
قال البغوي ومن زوق مسجدا أي تبرعا لا يعد من المناكير التي يبالغ فيها كسائر المنكرات، لأنه يفعله تعظيما لشعائر الإسلام
“Menurut Al Baghowi, menghias masjid dengan niatan baik (tidak karena riya’) tidak termasuk pelanggaran agama, sebab dengan begitu, sejatinya ia sedang megangungkan syiar Islam.”
Ironisnya, hiasan dimaksud kerap kali menganggu kehusyukan jamaah. Sebagaimana maklum, ornamen yang dapat menganggu orang sholat adalah makruh. (Lihat dalam Ghoyatu Talkhish al Murad h. 22)
Di Indonesia, kendati sebagian besar masyarakat awam tidak tahu menahu soal madzhab, tapi secara kultural dapat dipastikan bahwa mayoritas mereka menganut paham Syafi’iyyah. Dalam madzhab ini, menghias masjid masih menjadi polemik, begitupun dalam lintas madzhab. (Lihat dalam I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid h. 349)
Penulis tidak sedang menyoroti silang pendapat tersebut, ada hal lain yang tidak kalah penting: orang kaya kalangan muslim lebih getol berbagi dana untuk ornamen masjid ketimbang membantu sesama.
Anehnya, perhatian besar terhadap pembangunan fisik masjid tidak diiringi kepedulian yang sama terhadap kondisi sosial di sekitar masjid. Bukan tanpa dasar, menurut data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2 Mei 2025 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Dalam rentang yang berdekatan, menurut data Kementrian Agama RI yang dirilis pada 3 Desember 2024, jumlah masjid di Indonesia mencapai 308.435. Luar biasa, Amazing. Tentu diantara faktornya adalah salah paham khalayak yang beranggapan bahwa Ibadah hanya pada lingkup atribut keagamaan, belum (jika tidak boleh disebut bukan) pada esensi agama itu sendiri.
Dari sekian pengantar diatas, kiranya dapat dipahami, bahwa mengukir, memberi ornamen, menambah mercusuar dan sebagainya pada masjid adalah Mukhtalaf fih (diperselisihkan). Adapun membantu sesama adalah harus (jika tidak boleh disebut wajib). Maka patut direnungkan, apakah dana yang melimpah sudah membawa keberkahan sosial pada masyarakat sekitar masjid?
Sebagai penutup, Az Zarkasy (w.794) meriwayatkan kisah yang patut direnungkan dalam bukunya I’lamus Sajid:
.وقد روى أن ابن مسعود مر بمسجد مزخرف، فقال: لعن الله من زخرفه، أو قال لعن الله من فعل هذا، المساكين أحوج من الأساطين
الكتاب: إعلام الساجد بأحكام المساجد
المؤلف: محمد بن عبد الله الزركشي (٧٤٥ – ٧٩٤)
“Suatu ketika Ibnu Mas’ud mendapati masjid yang dihiasi, lau berkata ‘semoga Tuhan melaknat pelakunya’. Kemudian beliau melanjutkan, ‘masyarakat miskin lebih butuh pada dana itu ketimbang ‘ornamen-ornamen’ ini.”
Wallahu a’lam bis showab.
Discussion about this post