Diceritakan Syaikhul Islam Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H) itu saking alimnya, andaikan mazahib al-arba’ah atau empat mazhab fikih dibumihanguskan maka ia mampu meng-imla’ kembali atau mendikte ulang apa yang ada dalam empat mazhab fikih tadi melalui hafalannya yang menancap kuat dalam dadanya.
Imam al-Subki juga pernah berkata mengenai perpustakaan Nizamiyah, suatu perpustakaan terbesar dan terlengkap pada masa itu, “Sungguh aku tidak membutuhkan perpustakaan Nizamiyyah ini. Malahan, perpustakaan inilah yang sesungguhnya membutuhkanku. Karena koleksi yang berada didalamnya masih banyak yang membutuhkan untuk aku syarahi atau komentari.”1
Perkataan al-Subki ini tidak menunjukkan kesombongan, melainkan ia hanya menunaikan perintah tahadduts binni’mah. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Adh-Dhuha ayat 11:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan.” (QS. Adh-Dhuha: 11).
oleh Imam Mujahid bin Jabir dalam kitab Tafsir Mujahid halaman 735, ayat ini ia tafsiri dengan menggunakan definisi yang dinyatakan Sayyid Husain bin Ali Radhiyallahu Anhu:
هُوَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَعْمَلُهُ الرَّجُلُ فَيُحَدِّثُ بِهِ إِخْوَانَهُ مِنْ أَهْلِ ثِقَاتِهِ لِيَسْتَنَّ بِهِ وَيَعْمَلَ مِثْلَهُ
“(Tahadduts binni’mah) yaitu sebuah amal yang dilakukan seseorang kemudian ia menceritakannya terhadap saudara yang dipercaya dengan tujuan agar ia mampu meniru dan melakukan hal serupa.”2
Syaikhul Islam Taqiyuddin al-Subki tidak mengusung niat untuk pamer atau sombong melainkan ia hanya menceritakan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya dalam rangka bersyukur atas perolehannya tersebut.
Suatu ketika pada tahun 742 H. al-Subki mendengar kebesaran dan kejeniusan Imam Nawawi (w. 676 H) sehingga ia bertekad untuk mengunjunginya demi memverifikasi kebenaran kabar tersebut. Imam Nawawi adalah seorang ulama yang bertempat tinggal di Nawa, sebuah daerah di Kawasan Hauran Damaskus, Irak. Semasa hidupnya ia belum sempat menikah karena wafat diusia muda dan sibuknya dalam menekuni ilmu.
Dalam perjalanan menuju Damaskus, al-Subki pergi dengan menaiki bighal. Ditengah-tengah perjalanan ia disejajari oleh seorang laki-laki tua yang berjalan kaki sembari berucap: “Aku pernah bertemu dan melihat al-Faqih Yahya al-Nawawi satu kali.”
Seketika al-Subki turun dari kendaraannya dan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan naik kendaraan sedangkan orang yang pernah melihat Imam Nawawi jalan kaki.”
Singkat cerita, sampailah al-Subki di Nawa, Damaskus ketika hari sudah petang. Tetapi setelah beberapa saat, ia mendengar kabar bahwa Imam Nawawi sudah wafat. Lalu ia meminta kepada penduduk sekitar untuk mengantarkannya ke madrasah Darul Hadits al-Asyrafiyah, tempat dimana Imam Nawawi mengajarkan ilmu.
Setelah memasuki madrasah tersebut, al-Subki menanyakan kepada orang yang mengantarkannya tadi dimana letak Imam Nawawi duduk ketika mengajar. Setelah ditunjukkan letaknya, tanpa ada yang pernah menyangka, tiba-tiba al-Subki menempelkan wajahnya yang mulia ke lantai dimana Imam Nawawi pernah duduk disitu sembari menendangkan syair:
وفي دار الحديث لطيف معنى # أصلي في جوانبها وآوي
لعلي أن امس بحر وجهي # مكانا مسه قدم النواوي
Artinya, ”Pada Darul Hadits ini terdapat makna (rahasia) yang tersimpan, sehingga Aku melakukan sholat dan mencari perlindungan di sampingnya. Tidak lain tidak bukan supaya dengan seluruh wajahku ini dapat menyentuh tempat yang pernah disentuh oleh telapak kakinya Imam Nawawi.”3
Terlepas dari khilafiyah mengenai tabarruk seperti yang telah al-Subki dan Ibnu Taimiyah perdebatkan dulu, melihat kisah diatas menjadikan hati merinding hebat karena kesungguhan dan luar biasanya Syaikhul Islam Taqiyuddin al-Subki yang mulia itu dalam “ngalap berkah” kepada kekasih Allah.
Referensi :
1 Tafsir Mujahid (1, 735) https://ia800206.us.archive.org/34/items/waq90893/90893.pdf
2 Majlis Ta’lim Ustadz Syahidin Kejayan Pasuruan di Musholla Mayangan
3 Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra (8, 396) https://ia904706.us.archive.org/7/items/WAQ5093/tshk08.pdf