Istilah Cyber Begging digunakan untuk tindakan meminta-minta di media sosial atau platform online, termasuk dari cyber begging adalah meminta gift saat live dan seterusnya.
Kendati fenomena ini terbilang baru, tapi nilai-nilai dasarnya sudah ada dalam Islam sejak lama. Allah SWT berfirman:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah : 10)
Dalam Tafsir Jalalain, saat menjelaskan ayat (carilah karunia Allah) penulis memberi kejelasan:
{فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلَاة فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْض} أَمْر إبَاحَة {وَابْتَغُوا} اُطْلُبُوا الرِّزْق {مِنْ فَضْل اللَّه وَاذْكُرُوا اللَّه} ذِكْرًا {كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Apabila shalat telah selesai ditunaikan, maka berangkatah mencari rezeki. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadis, t.t.), hlm. 742.)
Hal ini senada dengan penafsiran Fakhruddin al Razi, mengutip dari Muqotil, beliau menulis, setelah pelaksanaan sholat jum’at selesai, dihalalkan bagi kalian bertebaran mencari rezeki. (Abu Abdillah Muhammad bin Umar al-Razi (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb = al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, t.th.), jilid 30 hlm.546)
Kita tentu tahu, bahwa diantara pesan ayat ini ditujukan agar kita tidak menjadi peminta-minta. Bagaimana tidak? Nabi dengan jelas mewanti-wanti umatnya agar mandiri
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلًا، فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ فَيَحْتَطِبَ مِنْهُ، فَيَبِيعَهُ، فَيَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا
Sungguh, jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung, lantas mengumpulkan kayu bakar guna dijual, kemudian makan dan bersedekah dari hasilnya, itu lebih terpuji ketimbang meminta-minta.
Kendati mencari kayu terbilang pekerjaan kasar dan tidak perlu keahlian, demikian lebih terpuji daripada mengemis. Disisi lain Nabi sering mengingatkan umatnya, bahwa tangan diatas lebih mulia daripada tangan di bawah.
Lebih lanjut, Ibnu Hajar al ‘Asqalani (w.852) menukil putusan ulama syafi’iyah, meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja adalah haram. (Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, jilid 3 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), hlm. 336.)
Penting digarisbawahi, penjelasan diatas berfokus pada mengemis dalam memenuhi kebutuhan primer. Sehingga, menjadi “lebih” haram saat meminta-minta dilakukan untuk kebutuhan sekunder, lebih-lebih tersier.
Lantas bagaimana orang yang tidak mampu bekerja dan punya kebutuhan mendesak, apakah mereka juga tidak diperkenankan meminta-minta?
Al-Ghazali (w. 505), dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin menulis, kendati hukum asal mengemis adalah haram, laku ini menjadi boleh dalam situasi mendesak (dharurah). Mengemis ibarat mengonsumsi daging bangkai bagi yang terdesak, ia terbatas pada pemenuhan stamina (baca: secukupnya), bukan untuk dinikmati sekenyang-kenyangnya, tulis al-Ghazali. (Abū Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 4 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah), hlm. 210.
Dikutip dari Faidul Qodir, syarh Jami’ al Shagir Al-Munawi menulis:
قال النووي: اتفقوا على النهي عن السؤال بلا ضرورة وفي سؤال القادر على الكسب وجهان أصحهما يحرم والثاني يجوز بكراهة بشرط أن لا يلح ولا يذل نفسه زيادة على ذل السؤال ولا يؤذي فإن فقد شرط منها حرم
Menurut an-Nawawi, ulama sepakat, bahwa meminta-minta tidak boleh dilakukan selama belum di taraf darurat. Adapun orang yang masih mampu bekerja, setidaknya terdapat dua pendapat dalam menyikapinya. Pertama dan yang paling ashoh adalah haram. Kedua, makruh, dengan syarat tidak memaksa, tidak merendahkan diri, dan tidak menyakiti. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka hukum haram tetap berlaku. (Abdul Ra’uf al-Munawi, Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi’ al-Ṣaghīr, cet. 1, jilid 2 (Kairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, 1356 H), hlm. 389.)
Terakhir, bagaimana sikap kita saat menjumpai pengemis daring?
Melihat fatwa ulama diatas, kita dapat mengambil beberapa sikap:
1. Verifikasi: Sebelum memberikan bantuan, baiknya kita verifikasi terlebih dahulu kebenaran pengakuan pengemis. Sebab, tidak jarang fenomena ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
2. Utamakan tangan di atas: Semangat tolong menolong adalah bagian dari Agama, ia harus dijaga namun dengan cara yang bijak. Memberi kepada orang-orang sekitar yang betul-betul butuh, atau memasrahkan pemberian kepada lembaga terpercaya.
3. Jangan mencela: Bagaimanapun. Al-Qur’an jauh-jauh hari mengingatkan kita tentang hal ini. “Dan berbuat baiklah terhadap orang yang meminta-minta, baik meminta ilmu pengetahuan atau harta, dan janganlah engkau menghardiknya. Berilah mereka apa yang engkau mampu atau tolaklah dengan halus dan ramah”.(QS. Ad Dhuha: 10)
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Discussion about this post