Jama’ah Haji Indonesia mulai berdatangan ke tanah air seusai mereka menunaikan ibadah Haji di Makkah Al-Mukarramah. Sesuai adat yang ada, biasanya mereka menggelar open house sampai hari ketujuh. Banyak kalangan dari kerabat, sanak famili, tetangga, dan kolega yang berdatangan guna memohon keberkahan do’a kepada mereka.
Tradisi yang berkembang di Indonesia ini juga menjadi ajang para pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) setempat, guna mendata serta memasukkan keanggotaan para jama’ah haji yang baru saja pulang dari tanah suci ke dalam organisasi tersebut. Beragam suguhan khas Timur Tengah seperti kurma, kismis Arab, cokelat batu, dan air zam-zam tersaji untuk para tamu yang mengunjungi mereka. Tak lupa, pengalaman dan peristiwa unik selama di tanah suci menjadi kisah khas shohibul bait yang diceritakan kepada para hadirin. Sajadah, tasbih, kopIah mercan, dan kerudung pashmina seakan menjadi bingkisan khas sebagai kenang-kenangan para tamu yang datang.
Euforia seperti ini tentunya hanya dapat kita temukan di Indonesia atau di negara-negara tetangga kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Lantas bagaimana pandangan para Ulama’ mengenai tradisi yang berkembang seperti ini? apakah hal tersebut tergolong hal yang bersifat mahmudah (terpuji) atau hal yang bersifat mazmumah (tercela) ?
Imam Qalyubi dalam Hasyiyah-nya menerangkan sebagaimana berikut :
وَيُنْدَبُ لِلْحَاجِّ الدُّعَاءُ لِغَيْرِهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَإِنْ لَمْ يَسأَلْ وَلِغَيْرِهِ سُؤَالُ الدُّعَاءِ مِنْهُ بِهَا وَذَكَرُوا أَنَّهُ أَيْ الدُّعَاءَ يَمْتَدُّ أرْبَعِينَ يَوْمًا مِنْ قُدُمِهِ
“Dan disunnahkan bagi orang yang berhaji untuk mendo’akan kepada orang (yang belum berhaji) dengan ampunan meskipun orang tersebut tidak minta (dido’akan). Dan bagi orang tidak / belum berhaji hendaknya meminta dido’akan olehnya. Para ulama’ menyebutkan bahwa do’a tersebut sampai empat puluh hari dari kedatangannya”. (Syihabuddin Al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi ‘alaa Syarhi Jalaluddin al-Mahalli, Beirut: Darl Fikr, 1419 H / 1998 M, Juz II, hal. 190)
Adapun menurut Al-Ghazali, mengutip dari Ihya’ Ulumuddin juz 1 halaman 241, Beliau memaparkan sebagaimana berikut :
وقد كان من سنة السلف رضي الله عنه أن يشيعوا الغزاة وأن يستقبلوا الحاج ويقبلوا بين أعينهم ويسألوهم الدعاء ويبادرون ذلك قبل أن يتدنسوا بالآثام
“Para ulama salaf biasa mengiringi orang jihad dan menyambut/mendatangi orang yang baru datang haji serta mencium di antara kedua matanya (kening) seraya meminta do’a. Semua itu dilakukan sebelum mereka mengotori diri dengan perbuatan dosa”.
Hal demikian didasarkan al-Ghazali pada sebuah hadits Nabawi yang dikutip Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya serta dikutip oleh As-Suyuthi dalam kitabnya al-Jami’ As-Saghir demikian,
قال صلى الله عليه و سلم، إذا لقيت الحاج فسلم عليه وصافحه ومره أن يستغفرلك قبل أن يدخل بيته فإنه مغفور له
“Nabi bersabda, Jika kamu bertemu orang yang baru pulang menunaikan ibadah haji, ucapkanlah salam, jabatlah tangannya, dan mintalah dia untuk mendo’akanmu agar diampuni dosamu sebelum dia masuk rumah. Sungguh dia telah diampuni dosanya.”
Dari paparan landasan hukum diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya mengunjungi atau berziarah kepada orang yang seusai menunaikan ibadah haji merupakan sesuatu tradisi/perbuatan baik. Kegiatan tersebut dilandaskan dari keterangan yang tertera di hadits Nabawiyah serta keterangan lain yang dimuat oleh para ulama salafus sholih dalam karyanya. Wallahu ‘Alam Bishowwab..
Discussion about this post