Penambangan nikel di Pulau Gag yang berada pada kawasan Raja Ampat, Papua akhir-akhir ini mendapat sorotan berbagai media. Meskipun faktanya lokasi tambang tersebut berjarak 40 KM jauh dari lokasi wisata dan sudah mengantongi izin resmi. Namun bukan isu tersebut yang akan dibahas secara krusial pada tulisan ini, melainkan ayat-ayat dalam Al–Qur’an tentang urgensi menjaga kelestarian alam atau ekologi yang termaktub salah satunya pada QS. Al – Baqarah : 205 dan QS. Ar – Rum : 41.
Nah pada kesempatan kali ini penulis akan membedah ayat–ayat tersebut dalam dimensi pemikiran KH. Afifudin Dimyathi yang terlukiskan pada kitab tafsrinya yang berjudul “Hidayatul Qur’an Fii Tafsir Al – Qur’an bii Al – Qur’an”. Pengaplikasian pendekatan pada tafsir yang dilaunching pada tanggal 10 Februari 2024 ini menggunakan pendekatan tafsir bil ma’tsur dengan menafsirkan satu ayat serta menghubungkan korelasi nya dengan ayat yang lain dan metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah menggunakan metode ijmali (global).
Qs. Al-Baqarah : 205 memaparkan mengenai sifat kaum munafik yang gemar melakukan perusakan, Gus Awis menjelaskan makna pada ayat tersebut sebagai berikut :[1]
وإذا توارى المنافق عن أعْين الناس مشى في الأرض بالفساد, وإتلاف الزروع و الثمار والحيوان وما به قوام الحياة والأحياء
“Dan jika berpaling kaum munafik dari pandangan manusia maka ia akan berjalan di muka bumi dengan berbuat kerusakan dan menghancurkan kebun, buah–buahan, hewan serta beberapa kaum yang hidup”.
Penafsiran Gus Awis mengenai ciri golongan munafik yang berbuat kerusakan di muka bumi tersebut sepadan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah pada ayat yang sama bahwasannya, “Apabila mereka (kaum munafik) memegang suatu kekuasaan mereka tidak mengusahakan perbaikan. Bahkan mereka menggunakannya untuk merusak dan menghancurkan tanam – tanaman dan binatang ternak. Allah tidak menyukai orang–orang seperti ini, karena Dia tidak menyukai kerusakan”.[2]
Dan di ayat yang lain Allah Ta’ala menegaskan demikian:
إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ( القصص : 77 )
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan” (Qs. Al – Qashas : 77)
Dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang berbuat kerusakan di muka bumi ini, maka ia tergolong dalam golongan orang munafik.
Kemudian pada Qs. Ar Rum : 41 Allah Ta’ala menerangkan bahwa kerusakan yang nampak di muka bumi dan lautan disebabkan karena ulah manusia itu sendiri. Gus Awis dalam hal ini memberikan pemaparan demikian,[3]
ظهر الفساد في البرّ و البحر كاقحط و كثرة الأمراض و الأوبئة بسبب اقتراف الناس السيئات و المعاصي
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan seperti kekeringan, banyaknya penyakit dan wabah disesbabkan oleh ulah manusia berbuat keburukan dan kemaksiatan”.
Pendapat Gus Awis tersebut memiliki keselarasan dengan pendapat Syaikh Wahbah Az Zuhaili yang memaknai kata ifsad/fasad (kerusakan) secara luas sebagaimana berikut:
والإفساد شامل إفساد الأديان بالكفر والبدعة, و إفساد النّفوس بالقتل و بقطع الأعضاء, و إفساد الأموال بالغضب و السّرقة و الإحتيال, و إفساد العقول بشرب المسكرات و نحوها, و إفساد الأنساب بالإقدام على الزّنى و اللّوّاطة و القذف
“Kata kerusakan mencakup rusaknya agama karena sebab kekufuran dan bid’ah, juga mencakup rusaknya diri karena sebab peperangan dan terputusnya anggota badan, juga kerusakan pada harta disebabkan ghasab, mencuri, dan berbuat dusta, dan mencakup rusaknya akal sebab minuman keras dan selainnya. Kemudian, rusaknya nasab dikarenakan perbuatan zina, sodomi, dan qadzaf.”[4]
Ayat tersebut memiliki korelasi ayat yang lain sebagai berikut:
وَمَا أَصَبَكُمْ مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِكُمْ ( الشورى : 30 )
“Dan tidaklah ditimpakan suatu musibah kepadamu, kecuali karena disebabkan oleh tanganmu sendiri” ( Qs. Asy – Syura : 30 )
Dari korelasi ayat tersebut, Gus Awis menjabarkan bahwa musibah yang datang tersebut sebagai bentuk balasan atas perbuatan buruk yang telah diperbuat agar ia mau kembali kepada Allah dan tidak kembali berbuat kemaksiatan dan kerusakan lagi. Pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kerusakan di muka bumi wabil khusus mengenai lingkungan hidup akan menimbulkan dampak pada manusia itu sendiri, seperti pembukaan lahan di hutan secara massif akan menimbulkan banjir di musim penghujan atau aktivitas tambang yang tentu akan mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem makhluk hidup sekitar.
Oleh sebab itu, menjaga kelestarian lingkungan merupakan tugas kita bersama sebagai umat manusia guna menolak suatu mafsadat (dampak yang lebih besar) sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqh dalam salah satu kaidah,
دَرأُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحْ
“Menghilangkan / menolak mafsadat lebih utama daripada menarik kemaslahatan”.[5]
Wallahu A’lam…
***
[1] M. Afifudin Dimyathi, “Hidayatul Qur’an Fii Tafsir Al – Qur’an bii Al – Qur’an”, (Kairo : Dar Al Nibras, Juz : 1, 2025), halaman 145.
[2] Abdullah Muhammad, “Urgensi Pelestarian Lingkungan Hidup Dalam Al – Qur’an”, Jurnal Pilar, Vol. 13, No. 01, Juni : 2022, halaman 78 – 79.
[3] Ibid, Juz : 3, halaman 320.
[4] Wahbah Az – Zuhaili, “Tafsir Al – Munir fii Al – Aqidah Wa Syariah Wa Al – Minhaj” , (Damaskus, Darl Fikr : 1418 H), halaman 243.
[5] Imam Nakhe’i, “Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah Sebagai Kaidah Transformasi Hukum Islam”, (Situbondo : Tanwirul Afkar, 2021), halaman 120.
Discussion about this post