Salah satu cabang keimanan yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah mempertahankan keimanan dan keislamannya dalam situasi dan kondisi apa pun. Muslim sejati lebih memilih mati, baik dibunuh maupun dibakar hidup-hidup, daripada menggadaikan agamanya dan masuk ke dalam kekafiran. Dia tidak akan menukar dan menjual agamanya dengan apa pun, baik harta, jabatan, wanita, popularitas, maupun lainnya. Sebab, dia tahu bahwa agamanya adalah jauh lebih mulia daripada seluruh anaknya dan harta-bendanya (Syekh Muhammad Nawawî al-Jâwî, Qâmi‘ aṭ-Ṭugyân ‘alâ Manẓûmah Syu‘ab al-Īmân, hlm. 6).
Syekh Muhammad Nawawî al-Jâwî menyebutkan kisah menarik yang sangat penting diperhatikan oleh sekalian umat Islam untuk mempertahankan keimanan dan keislamannya dalam situasi dan kondisi apa pun. Disebutkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdil Aziz ra. mengirim satu batalion tentaranya ke Romawi untuk berperang. Namun, pasukan Romawi berhasil mengalahkan mereka, dan bahkan menawan 20 orang dari mereka (hlm. 6-7).
Setelah itu, Kaisar Romawi menyuruh seseorang dari mereka (tentara pertama) untuk pindah ke agamanya dan menyembah patung seraya berkata, “Jika kamu mengikuti agamaku dan bersujud ke patung, maka aku akan mengangkatmu menjadi pemimpin di negeri yang agung ini. Aku akan memberimu penghargaan, mahkota, baju kebesaran, piala, dan terompet. Akan tetapi, jika kamu tidak mau memeluk agamaku, maka aku akan membunuhmu dan memenggal kepalamu dengan pedang.”
Namun, tentara pertama itu tidak terbuai oleh bujuk rayu si kaisar dan juga tidak gentar terhadap ancamannya. Dia berkata dengan tegas, “Aku tidak akan menjual agama(Islam)ku dengan dunia.” Si kaisar pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk memenggal kepala tentara pertama tersebut. Akhirnya, dia dieksekusi di alun-alun, dan kepalanya menggelinding di tengah alun-alun sembari membaca ayat: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr [89]: 27-30)
Si kaisar pun berang menyaksikan kesaksian kepala tentara pertama tersebut. Dia kemudian mengambil seseorang lagi (tentara kedua) dari tawanan itu seraya berkata, “Masuklah ke agamaku, maka aku akan mengangkatmu menjadi pemimpin di kota ini. Jika tidak, maka aku akan memenggal kepalamu seperti sahabatmu tadi.”
Tentara kedua pun tidak tergiur dengan jabatan dan tidak pula takut terhadap ancaman. Bahkan dia berani menasihati si kaisar seraya berkata, “Aku tidak akan menjual agamaku dengan dunia. Meskipun kamu berkuasa untuk memenggal kepala seseorang, tetapi kamu sama sekali tidak berkuasa untuk memutus keimanan seseorang.”
Si kaisar pun langsung menyuruh anak buahnya untuk memenggal kepala tentara kedua tersebut. Setelah dipenggal, kepala tentara kedua itu menggelinding seperti kepala tentara pertama sebanyak tiga kali sembari membaca ayat: “Maka, orang itu berada dalam kehidupan yang diridai, dalam surga yang tinggi; buah-buahannya dekat.” (Al-Ḥâqqah [69]: 21-23) Setelah menggelinding tiga kali, kepala tentara kedua itu berhenti tepat di samping kepala tentara pertama. Si kaisar pun sangat geram atas kesaksian kepala tentara kedua tersebut.
Setelah itu, si kaisar menyuruh anak buahnya untuk mengambil seseorang lagi (tentara ketiga) dari tawanan itu. Si kaisar pun berkata kepadanya, “Apa yang akan kamu katakan? Apakah kamu mau memeluk agamaku? Maka, aku akan mengangkatmu menjadi pemimpin.” Tentara ketiga tersebut terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan karena terbuai oleh iming-iming si kaisar. Dia memilih murtad (keluar dari Islam) seraya berkata, “Aku memeluk agamamu, dan aku memilih dunia daripada akhirat.”
Si kaisar menyuruh perdana menterinya untuk mencatat kesaksian tentara ketiga itu dan memberinya penghargaan, baju kebesaran, mahkota, dan piala. Namun, si perdana menteri berkata, “Wahai kaisar, bagaimana mungkin saya memberinya hadiah jika dia tidak diuji terlebih dahulu.” Lalu, dia menyarankan kepada kaisarnya seraya berkata, “Katakan kepadanya (tentara ketiga), ‘jika ucapanmu itu benar (yaitu memilih murtad dan memilih dunia daripada akhirat), maka bunuhlah salah satu sahabatmu. Maka, aku baru percaya terhadap ucapanmu itu.’”
Akhirnya, si tentara ketiga yang terkutuk itu mengambil salah satu sahabatnya yang sedang ditawan, dan kemudian membunuhnya. Maka, si kaisar menyuruh perdana menterinya untuk mencatat kesaksian tentara ketiga tersebut. Namun, si perdana menteri berkata lagi kepada kaisarnya, “Kesaksian ini tidak masuk akal jika dijadikan legitimasi untuk membenarkan ucapan tentara ketiga itu. Sebab, dia sama sekali tidak menjaga hak saudaranya (sesama muslim), padahal dia lahir dan hidup bersamanya. Maka, bagaimana mungkin dia bisa menjaga hak kita?” Dengan kata lain, kepada saudaranya saja dia berkhianat, apalagi kepada orang lain, yang memang tidak pernah hidup bersama sejak kecil.
Oleh karena itu, si kaisar menyuruh anak buahnya untuk memenggal kepala tentara ketiga itu. Dia dieksekusi di alun-alun, dan kepalanya menggelinding tiga kali sembari membaca ayat: “Maka, apakah (engkau hendak mengubah nasib) orang-orang yang telah dipastikan mendapat azab? Apakah engkau (Muhammad) akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka?” (Az-Zumar [39]: 19) Kepala tentara ketiga itu berhenti di pinggir alun-alun sehingga ia terpisah dengan kepala tentara pertama dan kepala tentara kedua. Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…