Ali Mansur yang terbilang masih cucu dari KH. Siddiq Jember, merupakan penggubah Shalawat Badar di mana kronologi penyusunan shalawat ini adalah sebagai bentuk perlawanan kultural masyarakat Islam di Banyuwangi wabil khusus Indonesia terhadap lagu Genjer-Genjer-nya PKI. Selama bermukim di Banyuwangi, selain menyusun Shalawat Badar, Kiai Ali juga menulis sebuah manaqib (biografi) perjalanan hidup seorang Waliyullah (kekasih Allah) yang cukup masyhur di bumi Blambangan. Datuk Abdurrahim bin Abu Bakar Bauzir namanya, seorang ulama asal Hadramaut, Yaman yang berdiaspora ke Nusantara guna menyebarkan dakwah Islam secara Rahmatan Lil Alamin.
Adapun yang melatar belakangi penulisan manaqib ini adalah dikarenakan permintaan langsung cucu Datuk Abdurrahim yang bernama Ki Muhammad Sholih bin Ahmad bin Abdurrahim Bauzir. Kiai Ali yang pada saat itu berdinas di lingkungan Kementrian Agama dengan jabatan sebagai Kepala KUA (Kantor Urusan Agama, sekarang Kemenag) di wilayah kerja Kabupaten Banyuwangi, terpilih sebagai penulis manaqib serta penggagas peringatan haul yang diadakan secara terbuka. Sebelumnya haul Datuk Abdurrahim diadakan secara tertutup dan hanya diikuti kalangan keluarga.
Adapun buku manaqib yang diterbitkan kembali oleh Komunitas Pegon di tahun 2022 ini merupakan formulasi dari dua naskah manuskrip manaqib Datuk Abdurrahim yang ditulis oleh Kiai Ali dan Kiai Suhaimi Rafiuddin Kampung Melayu, Banyuwangi. Diantara dua naskah manuskrip ini tidak ada bedanya atau hampir sama, namun di manuskrip milik KH. Suhaimi Rafiuddin terdapat tambahan bab Wa Min Karamatihi Ba’da Wafatihi (sebagian karomah Datuk Abdurrahim pasca kewafatannya).
Kiai Ali membuka penulisan manaqib ini dengan menjelaskan asal usul Datuk Abdurrahim Bauzir yang berasal dari Mukalla, Hadramaut, Yaman. Kemudian beliau berdiaspora (hijrah) ke Loloan, Jembrana, Bali dan pada akhirnya beliau berdakwah serta bermukim sampai akhir hayatnya di kampung Arab kelurahan Lateng, Banyuwangi. Datuk Abdurrahim pertama kali menginjakkan kakinya di Bumi Blambangan pada tahun 1260 H (1844 M) dikarenakan misi penyebaran Islam di Jembrana telah usai. Klan Bawazier atau Bauzir sendiri di Hadramaut dikenal sebagai salah satu klan Masyayikh / non-Sayyid yang cukup berpengaruh disebabkan keluasan ilmunya.
Dalam menyebarkan Islam di Banyuwangi, Datuk Abdurrahim menerapkam metode dakwah bil haal (dakwah dengan mengedepankan keteladanan / sikap). Sebagaimana dikisahkan dalam manaqib susunan Kiai Ali ini pada bab Min Ba’du Karamatihi Radhiyallahu Anhu (sebagian kisah karomah Datuk Abdurrahim Bauzir Semoga Allah Meridhoinya). Bahwa dari kisah tutur yang diriwayatkan oleh Ki Agus Alwi dari ayahnya Kiai Saleh Lateng, tiap hari Jum’at pagi Datuk Abdurrahim Bauzir selalu mencari dan mengajak anak-anak yatim serta anak-anak yang belum baligh ke pinggir laut guna diberi uang. Anak-anak tersebut gembira kegirangan seraya mengikuti langkah sang Datuk menuju pinggir laut. Kemudian Datuk lari kearah timur menuju pelampung dan menyuruh anak-anak tersebut menunggunya shalat sebentar.
Dari sisi barat, anak-anak tersebut melihat bahwasannya Datuk sedang shalat Dhuha di atas air dengan menggelar surbannya sebagai alas shalat. Seusai shalat Datuk pun kembali ke pinggiran menghampiri anak-anak tadi sembari memberikan uang seraya mengusap kepala mereka. Diantara anak-anak ada yang berjalan pulang mendahului Datuk dikarenakan ia ingin menyampaikan kabar kepada keluarganya bahwa sang Datuk habis shalat di atas air dan tidak tenggelam.
Kemudian terdapat kisah lain mengenai karomah beliau yang diriwayatkan oleh Tuan Salim Dahnan Kampung Arab Lateng, Banyuwangi. Dikisahkan pada suatu hari seseorang yang bernama Pak Jebeng hendak pergi ke Banyuwangi dari desa Cupel, Jembrana, Bali dengan mengendarai perahu. Tiba-tiba ia bertemu dengan Datuk Abdurrahim, maka diajaklah sang Datuk untuk sama-sama naik perahu. Namun Datuk menolak secara halus dan ditinggalah sang Datuk. Kemudian apa yang terjadi ? ternyata yang sampai di Banyuwangi terlebih dahulu bukanlah Pak Jebeng, melainkan sang Datuk. Dengan mengendarai apakah sang Datuk menyebrang? Wallahu ‘Alam. Yang pasti sang Datuk menyebrang menggunakan bis, yakni bismillahirrohmanirrohim.
Berdasarkan data yang tertera dalam manaqib ini Datuk Abdurrahim Bauzir berpulang ke hadirat Ilahi Robbi pada hari selasa bulan Jumadil Awwal tahun 1296 H. Wa Ba’du, buku manaqib ringkas ini selesai ditulis oleh Kiai Ali Mansur pada tanggal 01 Rajab 1380 H / 19 Desember 1960 M.
Sedikit menambahkan keterangan dari masyarakat setempat bahwa jika seorang peziarah ingin diberi kelancaran terkait mai’syah (rezeki), maka dianjurkan agar mereka bertawasul kepada Datuk Abdurrahim Bauzir. Adapun jika seorang peziarah ingin diberi keluasan dan kemudahan dalam menimba ilmu, maka hendaknya mereka bertawasul kepada Sayyid Hadi bin Abdullah Al-Haddar yang makamnya terletak tak jauh di sebuah bangunan dekat makam Datuk Abdurrahim Bauzir. Wallahu ‘Alam Bishowwab.
Comments 1