Setiap datang bulan Ramadhan saya selalu teringat ketika hidup di Pesantren Madinah Munawwarah (PMM) Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah. Suatu pengalaman pertama kali keluar dari rimba kota kelahiran. Saya teringat ketika sima’an Al-Qur’an 30 juz dalam salat; suatu kegiatan Pesantren yang sejuk nan indah serta menentramkan hati yang jadi tradisi tahunan pesantren dalam rangka memeriahkan Ramadhan.
Di pesantren ini para santri dididik menghafal Al-Qur’an 30 juz selama satu tahun hingga khatam (dan memang wajib khatam dalam tempo satu tahun sesuai program). Selain diajarkan menumbuhkan semangat mencintai Al-Qur’an; juga diajarkan bagaimana membangun kebiasaaan positif secara berulang-ulang—dengan rutin membaca dan menghafal serta mempelajari Al-Qur’an.
Biasanya kitab yang dikaji-pelajari, khusus santri tahfidz, adalah kitab Hamalatul al-Qur’an. Waktu itu saya berangkat ke Pesantren ini pada akhir tahun 2017 dan selesai bulan Februari 2018; yang sebelumnya saya nyantri di pesantren kota kelahiran, Jember. Dan memutuskan pindah ke Pesantren ini untuk memantapkan niat fokus menghafal Al-Qur’an sesuai program yang diberikan.
Tahun 2018 adalah tahun dimana saya merasakan nikmatnya sima’an Al-Qur’an dalam salat selama bulan Ramadhan. Para santri tahfizh diwajibkan mengikuti kegiatan sima’an Al-Qur’an 30 juz dalam Salat. Tujuannya, selain mengharap keberkahan Al-Qur’an dan ridlo Allah, agar mereka terlatih dan membiasakan diri mengingat-ingat hafalannya dalam Salat; dengan cara menyimak bacaan Imam.
Tentu, ini pengalaman pertama selama mondok di Jawa Tengah; yang di pondok tempat kelahiran saya sendiri, biasanya juz amma; surat-surat pendek paling akhir yang dibaca Imam.
Tradisi sima’an Al-Qur’an 30 juz dalam salat sebenarnya sudah ada sejak pesantren ini didirikan dan jadi program rutinitas kegiatan tahunan sebelum dan pasca pesantren ini mencetuskan program unggulan menghafal Al-Qur’an 30 juz, maka lebih semaraklah tradisi sima’an Al-Qur’an dalam salat tersebut. Tradisi yang makin marak tiap tahun Ramadhan ini tidak lepas dari keberadaan tiga program utama pesantren.
Pertama, program utama menghafal Al-Qur’an 30 juz dalam tempo satu tahun; kedua, program tahfizh klasik yang metode menghafalannya memakai metode kuno atau klasik tanpa tenggat keharusan selesai menghafal dalam waktu cepat; dan ketiga, program khariji.
Program terakhir ini, dikhususkan untuk kalangan masyarakat umum bagi siapapun–tanpa terikat batasan usia–yang hendak belajar Al-Qur’an serta menghafal Al-Qur’an dan berkenan setoran ke pesantren ini (biasanya diikuti masyarakat awan yang hendak belajar Al-Qur’an dari nol hingga bisa membaca).
Karena kami masuk program utama dalam tempo satu tahun, maka kami masuk pada sima’an Al-Qur’an 30 juz dalam dua sesi, yaitu sima’an Al-Qur’an dalam salat Tarawih dan sima’an Al-Qur’an dalam salat Tahajud dan Dhuha, yang wajib diikuti oleh semua santri tahfizh (kecuali santri program khariji).
Pertama, sesi sima’an Al-Qur’an dalam salat tahajud, semua santri tahfizh wajib bangun malam sekitar dua jam sebelum memasuki sahur, yang teknis khataman-sima’annya dibaca per setelah juz; dan, selanjutnya, ketika salat duha berlangsung sebagai melanjutkan bacaan sebelumnya, dan yang jadi imam salat, semua santri tahfidz (sesuai jadwal yang telah ditetapkan ustadz) .
Kedua, sima’an Al-Qur’an 30 juz dalam salat tarawih yang wajib diikuti semua santri: baik santri kuliahan yang belajar kitab maupun santri tahfidz secara keseluruhan–baik santri putra maupun santri putri–yang jadi satu jamaah termasuk masyarakat sekitar pesantren.
Saya salut sekali daya ke-beribadah-an masyarakat sekitar waktu itu; bahwa mereka respect sekali ke santri-santri PMM; bahkan ke pesantren kami yang pada waktu itu sedang pembangunan masjid dan asrama santri.
Mula-mula, pada malam pertama tarawih mungkin terasa agak capek dan setelah kegiatan ini berlangsung setiap malam dan dilakukan secara berulang-ulang kami kira agak mulai terbiasa (untuk tidak mengatakan capek sebenarnya, kecuali guru-guru yang alim-khusyuk itu) dan terasa nikmat sebab yang jadi imam salat adalah para penghafal Al-Qur’an yang suaranya aduhai merdunya.
Guru kami, K. H. Yahya Al-Mutamakkin, kalau sudah jadi Imam salat, satu juz Al-Qur’an mungkin tidak terasa bagi jamaahnya; sebab lantunan ayat Al-Qur’an yang dibawa pasti menukik jantung perasaan jamaah dan terasa enak didengar; terasa ingin selalu menyimak bacaannya.
Sayup-sayup lantunan Al-Qur’an itu begitu menusuk hati meski diri ini berlumuran dosa; dan bergetar hati ketika dibacakannya; seolau-olah kami para jamaah sedang berada di surga.
Mungkin ramadhan hari ini Tuhan membuat saya merindukan sima’an 30 juz itu; Tuhan kini mengizinkan saya untuk menuliskannya, mengabadikannya, mengenangnya sebagai saksi bahwa kami pernah bersujud dihadapan-Nya di bulan penuh mulia: Ramadhan.