Al-Qur’an merupakan kitab suci yang jika pun si-pembaca tak paham isinya ia dianggap beribadah dengan membacanya. Latar belakang yang beragam dari banyak pembaca meniscayakan ragam penafsiran yang muncul. Fuqoha’ misalnya, akan banyak mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dasar penetapan hukumnya. Mutakallimin akan sering mengutip ayat-ayat ketuhanan dan sifat-sifatNya sebagai pengantar ma’rifat versi mutakallimin. Sementara saya, kali ini akan mengajak pembaca berselencar dalam renungan tentang kata “kun fayakun”.
Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepada sesuatu itu: “kun!” (Jadilah!) Maka, jadilah (sesuatu) itu. [Q.S.:Yasin (36) : 82]. Ketika Allah menciptakan Nabi Isa As. tanpa ayah, Ia menjelaskan dalam firman-Nya :“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, “kun!” Maka, jadilah sesuatu itu”. [Q.S.:Ali Imron (3) : 59]. Sebagaimana penjelasan yang dikemukakan dala ayat tersebut, perumpamaan yang dimaksudkan itu adalah kata “kun”.
Dalam setiap penciptaan, Allah cukup mengatakan “kun” maka jadilah ciptaan itu. Al-Qusyairy menjelaskan, kata “kun” merupakan isyarat terhadap dua sifat Allah yang ingin ditunjukkanNya kepada manusia, yakni; qudroh (kekuasaan) dan irodah (kehendak). Keduanya, selalu berkaitan dengan setiap kejadian di alam semesta, terkhusus apa-apa yang terjadi pada kita, manusia. Semua hal yang terjadi pada kita tidak pernah lepas dari kedua sifat itu. [Fakruddin Ar-Rozi: Tafsir Mafatihul-Ghoib].
Untuk menjelaskan keterkaitan seluruh alam terhadap kata “kun” yang memiliki arti qudroh dan irodah ini, Izzuddin Ibnu Abdissalam menjelaskan dengan metafora yang indah dan mudah dipahami. Menurutnya kata “kun” ibarat sebuah biji dengan dua bilah. Satu bilah berupa huruf kaf dan bilah yang lain adalah huruf nun. Biji itu kemudian tumbuh sehingga menjadi sebuah pohon rindang yang memiliki banyak ranting dan daun. [kitabus-Syajaroh]
Seluruh makhluk memiliki hubungan erat dengan dua bilah biji kun itu. Sebab mereka merupakan bagian dari pohonnya. Dalam penjelasan Ibnu Abdissalam, seluruh wujud merupakan pertumbuhan dari pohon kun. Selanjutnya Izzuddin Ibnu Abdissalam memperjelas metafora pohon kun dengan menggambarkan kisah Adam dan Iblis.
Adam dan Iblis adalah bagian dari ranting-ranting pohon kun itu. Pohon kun bagi Adam adalah segala cabang pohon yang mengantarkannya kepada ma’rifat. Sebab huruf kaf dalam kata kun bagi adam adalah kaf yang bermakna kitriyyah (ketinggian) yang merupakan isyarat kepada ucapan Adam:
كُنْتَ كِتْرًا مُخْتَفِيًا لَا أَعْرِفُ فَأَحْبَبْتُ أَنْ أَعْرِفَ
Artinya:
“Engkau (Allah) adalah dzat yang maha tinggi dan samar yang tak kukenal. Sehingga aku ingin mengenalMu”.
Sementara nun baginya adalah nun ananiyyah (ke-Aku-an) yang merupakan isyarat terhadap jawaban Allah kepadanya:
إِنَّنِيْ أَنَا اللهُ لَٓا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا
Artinya:
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku”.[ Q.S. Thoha (20) : 14]
Dengan kaf kitriyyah yang menegaskan kerendahan diri Adam di hadapan Allah, akhirnya Allah memberikan nun ananiyyah dengan memperkenalkan dirinya kepada Adam.
Sementara si Iblis memiliki pandangan yang jauh berbeda dengan Adam dalam menyikapi kaf dan nun dari pohon ku . Bagi Iblis, kun adalah segala cabang pohon yang mengantarkannya menuju kekufuran dan kebutaan terhadap hakikat Tuhannya. Sebab saat ia mencoba untuk memahami hikmah kehidupannya, ia mengandalkan diri sendiri dan tak melibatkan Tuhannya. Dengan begitu tumbuhlah kesombongan dalam dirinya sehingga ia mengartikan kaf baginya adalah ranting kaf kufriyyah (kekufuran), dan nun baginya menumbuhkan ranting nun nukroh (samar/tidak jelas).
Setiap ranting memiliki peran dalam pertumbuhan pohon kun sehingga menjadi subur. Begitu pun Adam dan Iblis, Adam yang menumbuhkan ranting-ranting kerendahan diri dihadapan Tuhan akhirnya ditunjuk sebagai kholifah fil-ardh. Sementara Iblis yang tumbuh dengan ranting kesombongan ditunjuk sebagai musuh dari Adam. Peran mereka berdua telah dikodratkan untuk tidak saling bermesraan. Keduanya harus berlaku sebagaimana mestinya sehingga pohon kun tetap subur. Hal ini juga dititahkan kepada anak Adam sebagai pewarisnya. [Izzuddin Ibnu Abdissalam: Kitabus-Syajaroh]
Sebagai khalifah fil-ardl, anak Adam harus berlaku sebagaimana telah dititahkan. Adil, tidak membuat kerusakan di bumi dan perbuatan-perbuatan baik lain. Sementara dalam menyikapi Iblis Al-Quran menjelaskan “Sesungguhnya setan adalah musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh” [Q.S.:Fatir:6]. Iblis diciptakan sebagai musuh bagi manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil-ardl.
Apakah tugas Iblis ini bermanfaat bagi tatanan alam semesta sebagaimana ranting yang ber,amfaat bagi pohonnya? Dalam menjelaskan hal ini Ibnu Atho’illah As-Sakandari berkata: “Allah menjadikan Iblis sebagai musuhmu, agar Allah menggiringmu menuju jalan-Nya melalui Iblis” [Ibnu Atho’illah as-Sakandari : al-Hikam]. Agak kontroversial memang ungkapan yang disampaikan oleh Ibnu Athoillah. Bagaimana mungkin Iblis menuntun kita menuju jalan Allah?
Menurut Syarih; Iblis menunggu saat-saat manusia lengah dari tujuan mereka. Kemudian menerkam dan menjatuhkannya pada saat yang memungkinkan. Manusia yang memiliki kesadaran akan musuh yang siap menerkam akhirnya akan selalu waspada dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan perannya di dunia sebagai hamba dan kholifah. Kesadaran itulah yang dapat menuntun kita menuju Allah Swt. [Syarh al-Hikam]
Keberhasilan kita dalam ngambah dalan spiritual berbanding lurus dengan tingkat kesadaran kita terhadap godaan setan, maka perlakukanlah ia sebagai musuh!” [Q.S.:Fatir (35) :6].
Sangat mudah untuk difahami, Terima kasih banyak