Penulis sedang menyiapkan naskah buku untuk diterbitkan berisi kumpulan tulisan pendek berjudul Islam Rahmatan lil Ekologi atau Islam yang menjadi rahmat bagi ekologi. Lil Ekologi sengaja dijadikan ganti term lil ‘aalamin yang bisa dijumpai dalam ragam teks formal Islam. Judul demikian harus digunakan karena beberapa alasan, seperti tampaknya memang harus diakui dalam sejarah Islam yang miskin frasa menyangkut persoalan ekologi dan pelestarian lingkungan hidup. ketika Mas Walang Gustiyala penulis buku Hijrah Ekologis meminta penulis memberikan beberapa kalimat untuk dicantumkan dalam bukunya. Penulis kemudian teringat pada situasi historis yang demikian tersebut:
“Sejarah perpecahan umat Islam diawali perdebatan menyangkut dosa besar yang berkembang menjadi friksi teologis. Bermacam istilah yang berhubungan dengan bidang teologis kemudian semakin mapan berlaku dalam tradisi keislaman, seperti pelaku dosa, maksiat, kafir, murtad, mukmin, muslim, munafik, mualaf dan belakangan, hijrah digunakan untuk menyebut kesadaran teologis dalam lingkaran muslim perkotaan. Adapun orang yang ideal dan tidak ideal dalam memperlakukan kosmos, atau orang dengan kesadaran ekologis kemudian menjadi sulit dijumpai sebutan yang tepat dengan latar belakang keislaman baginya. Degradasi lingkungan telah melampaui teks formal dari Alquran berupa kerusakan di darat (fil-barri) dan di laut (wal-baḥri).
Hari ini, degradasi itu juga telah terjadi di udara (fil-jawwi) yang semuanya disebabkan oleh tangan-tangan tamak manusia. Buku Hijrah Ekologis karya Mas Walang Gustiyala ini menjadi penting sebab lumayan mampu menambal kemiskinan frasa dalam tradisi keislaman menyangkut pelestarian lingkungan hidup.” Tulis penulis dalam Hijrah Ekologis. Menyangkut ayat tentang kerusakan di darat dan di laut seperti dalam Surat Ar-Rum ayat 41:
.ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dalam beberapa kitab tafsir kerusakan (alfasad) di darat dan di laut sering ditafsiri sebagai penyimpangan akidah, moralitas dan perilaku manusia pada saat itu (al-inhiraf al-‘aqdi, al-inhiraf al-akhlaqi). Dalam tafsir yang dekat dengan tradisi sufi, kerusakan di darat ditafsiri sebagai kerusakan di lisan, sedangkan di laut merupakan kerusakan di hati. Lantas, mengapa jarang kita temui dalam tradisi Islam kitab tafsir dengan basis dan visi ekologi? Barangkali karena di tempat dan di zaman tafsir itu dibuat tidak ada pengrusakan lingkungan hidup, berbeda dengan kenyataan kita hari ini.
Di depan mata kita hari ini sedang terjadi pengrusakan ragam ekosistem yang membahayakan manusia dan lingkungan hidup sekaligus. Di tengah situasi yang demikian, alfasad dalam ayat di atas perlu juga dimaknai dengan basis dan visi ekologi berupa pencemaran, pengrusakan, penghancuran alam, baik di permukaan dan kedalaman darat, atau permukaan dan kedalaman laut, bahkan pencemaran dan pengrusakan atas udara dan atmosfer.
Kiai Haji Aguk Irawan menulis di bangsaonline.com berjudul: WALHI, Wahabi Lingkungan, dan Hudud, mengoreksi pernyataan Gus Ulil Absar Abdalla belakangan ini yang menyebut WALHI sebagai “wahabi lingkungan.” Term yang menurutnya mengandung dua kemungkinan. Pertama, orang-orang dalam WALHI sebagai aktivis yang ekstrim dalam menolak pengelolaan sumber daya alam. Kedua, bisa saja term itu merupakan pembenaran filosofis terhadap ragam tindakan eksploitasi sumber daya alam yang kemudian banyak menyebakan ragam bencana. Kemungkinan yang kedua ini menurutnya perlu dikritisi karena bertentangan tidak hanya dengan Alquran, tapi juga dengan semua kitab suci.
Bagi penulis, hari ini kita memang harus ekstrim dalam konteks perawatan dan pelestarian lingkungan hidup, tidak apa-apa disebut “wahabi lingkungan” karena kita sebagai manusia yang tinggal di Indonesia memiliki bayak kenyataan pahit.
Pertama, eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang, tapi dampak negatif secara ekologis dirasakan oleh banyak orang yang tidak merasakan dampak positif secara ekonomis. Seperti satu elite lokal, satu elite keagamaan pemilik modal dan pengaruh di Madura yang menjalankan usaha galian C di perbukitan, kemudian banyak orang yang harus menerima dampak buruk dengan menurunnya tingkat kesuburan tanah hingga kelangkaan air tanah.
Kedua, paradigma elite secara formal dalam pemerintahan di ragam tingkatan, juga elite secara kultural termasuk juga elite keagamaan mayoritas menggunakan dan menerapkan paradigma antroposentrisme dan mengesampingkan biosentrime, atau pandangan etis yang memberikan nilai intrinsik kepada semua makhluk hidup, yang berbeda dengan paradigma pertama yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya.
Ketiga, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, menyangkut eksploitasi sumber daya alam berhadapan dengan persoalan ketidakadilan, berupa monopoli, privatisasi yang menguntungkan korporasi dan merugikan rakyat banyak. Term “wahabi lingkungan” yang disampaikan Gus Ulil memang telah menambah frasa dalam diskursus seputar Islam dan lingkungan hidup di Indonesia. Tapi rasanya, konteksnya bukan dalam pelestarian lingkungan hidup (ri’ayah al-bi’ah) tapi dukungan atas tambang dengan pembenaran secara filosofis.
Di Madura, masyarakat yang tinggal di sekitar perbukitan yang dijadikan galian C banyak mengeluh tentang lahan pertanian mereka yang banyak diganggu oleh gerombolan kera dari arah perbukitan. Biji singkong, kacang, ketela, jagung dimakan oleh gerombolan kera. Penyebabnya adalah, bukit-bukit yang menjadi rumah bagi kera itu digali oleh para elite lokal pemilik modal. Manusia kemudian kehilangan sumber makanan, dimakan monyet yang kehilangan rumah sekaligus tempat sumber makanan. Rasanya kita memang perlu menjadi “wahabi lingkungan” itu hari ini.
Discussion about this post