Tak perlu risau bila hafalanmu kerap datang dan pergi semaunya. Hal itu tentu adalah keniscayaan yang terjadi dalam diri kita semua. Kamu juga tak perlu melihat orang lain diberi nikmat mudah dalam menghafal dan menjaganya hingga kemudian menjadikanmu merasa insecure karena tak memiliki kemampuan seperti itu. Ingat ‘porsi’ kita telah diatur. Dan tugas kita hanyalah terus berusaha. Ilmu tak mengenal apa itu tua apa itu muda. Yang dikenal ilmu ialah bagaimana kita terus berusaha untuk mendapatkannya.
Bila kamu ingin bukti atas ucapanku, lihat dan simaklah salah satu kisah teduh dari ulama salaf, ialah kisah dari seorang Imam al-Qaffal al-Shagir (w. 417 H). Ulama yang mengawali rihlah keilmuannya ketika sudah berumur senja.
Khorasan Raya. Khorasan Raya ialah suatu wilayah yang meliputi bagian dari Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kazakhstan dan Uzbekistan. Daerah tersebut mempunyai kota-kota besar di antaranya Naisabur, Herat, Marw, dan Balkh. Di kota Marw lah, seorang ulama dunia akan lahir. Tepatnya pada tahun 327 H di Marw al-Syahijan (sekarang bernama Mary, masuk dalam wilayah geografis negara Turkmenistan).
Diriwayatkan dalam kitab Ma’alim Irsyadiyah li Shana’ati Thalibi al-Ilmi, dahulu saat al-Qaffal al-Shagir masih bergelut dengan dunia per-gembok-an, kemasyhuran Imam al-Qaffal al-Kabir telah membumbung tinggi. Popularitasnya sebagai ulama sangat tervalidasi. Di samping ulama, dia juga ulung dalam membuat gembok. Pernah viral di persada negeri Khorasan gara-gara bisa memproduksi gembok seukuran 1/6 dari ukuran dirham.
Meski belum ada media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, Tiktok, atau Threads yang sedang trending sekarang ini, warta tersebut terus merambah ke segala penjuru negeri hingga akhirnya terdengar oleh al-Qaffal al-Shaghir. Mengetahui kenyataan itu, dia tak mau kalah dan akhirnya terusik untuk memproduksi gembok tandingan dan hasilnya dia sanggup membuatnya dengan ukuran 1/4 dari ukuran dirham. Tapi nasib berkata lain, prestasi yang luar biasa ini, tidak lantas menjadikan dia terkenal, alih-alih semakin tenggelam dalam nestapa kehidupan.
Mendapati nasib seperti itu, dia pun curhat ke teman karibnya tentang ketidakadilan hidup yang dia alami. Dia yang mampu membuat gembok lebih dahsyat ketimbang al-Qaffal al-Kabir, tetapi penghargaan masyarakat tetap kepada al-Qaffal al-Kabir.
Dengan nada melipur lara, temannya berujar:
إنما الذكر بالعلم لا بالأقفال
“Duhai sahabatku, ingatlah, orang terkenal itu sebab ilmunya, bukan sebab gembok yang kau buat.”
Perkataan ini mungkin tidak seutuhnya benar, karena seakan mencari ilmu hanya ingin terkenal. Namun tidak bisa dikatakan salah, kalau sekedar sebagai motivasi untuk mencari ilmu bagi pemula (mubtadi’in). Sekaliber al-Ghazali pun pernah mengalaminya:
طلبت العلم لغير الله فأبى العلم إلا أن يكون لله
“Dulu saya pernah mencari ilmu bukan semata karena Allah (bisa jadi karena ingin memperoleh jabatan, popularitas atau lainnya) namun ilmu enggan menemuiku, kecuali dengan niat ikhlas karena Allah.”
Kendati demikian, hal ini dapat menjadikan al-Qaffal al-Shaghir sadar dan gairahnya dalam mencari ilmu mulai berkobar. Di usianya yang telah sampai 40 tahun (konon 30 tahun), dia mulai giat mencari ilmu. Perjalanan intelektualnya, berawal dari bertemu dengan seorang Syekh (guru besar) di kota Marw.
Oleh gurunya dia suruh untuk menghafal kitab Mukhtashar al-Muzanni. Tepatnya pada kalimat:
هذا كتاب اختصرته
Dia disuruh gurunya untuk mengahafalkan kalimat tersebut dan menyetorkannya esok pagi. Dia pun pulang dan langsung naik ke loteng rumah untuk terus mengulangnya sampai hafal. Tak terasa malam semakin larut sedangkan hafalan belum sepenuhnya kuat di pikiran.
Mata tak bisa berbohong dan fajarpun akhirnya tiba, akhirnya dia terlelap sesudah berusaha menghafal mulai waktu Isya’. Esok hari saat dia bangun, kalimat pendek yang dihafal semalam suntuk hilang tak tersisa dalam ingatan. Resah, susah dan gelisah campur menjadi satu. “Aduh, apa yang nanti saya setorkan kepada guru?”
Meski begitu, dia tetap menunjukkan niat kesungguhannya, setelah bersiap dan berkemas, diapun keluar rumah. Tiba-tiba ada seorang perempuan tetangga sebelah datang meracauinya,
”Ya Aba Bakr, sungguh kami tidak bisa tidur semalam gara-gara ucapanmu, ‘hadza kitabun ikhtashartuhu’.” Seketika hafalan itu diingat kembali. Kemudian dia segera berangkat untuk setoran hafalan kepada gurunya. Setelah rampung, gurunya berpesan:
لا يصدنك هذا عن الاشتغال، فإنك إذا لازمت الحفظ والاشتغال صار لك عادة
“Jangan sekali-kali kau tinggalkan kesibukan menghafal ini. Karena dengan tekun dan istiqamah, niscaya engkau akan terbiasa.“
Atas pesan gurunya inilah, dia terus-menerus menyibukan diri dengan rihlah keilmuannya hingga akhirnya menjadi sosok yang alim dan allamah yang sangat dikenal dunia hingga hari ini. Reputasi dan kredibelitasnya sangat brilian, sampai-sampai ada yang berkata:
“Tidak ada pada zamannya yang lebih faqih dari dia (al-Qaffal al-Shaghir), dan tidak ada sesudahnya yang semisal dia. Dahulu saya mengatakan bahwa dia malaikat dalam bentuk manusia.”
Kisah diatas tentu sarat akan hikmah. Seorang tukang pembuat gembok yang berumur 40 tahun dan tidak bisa membedakan mana itu dhamir mutakallim (ikhtashartu) dan mana itu dhamir mukhatab (ikhtasharta). Apalagi menghafal, tentu akan sangat sulit mengingat umurnya yang terlampau tua.
Tetapi dengan adanya himmah ‘aliyah dan dibarengi dengan aksi nyata, dia mampu sampai pada derajat seorang Imam bermazhab al-Syafi’i. Hal ini semakin menegaskan bahwa dia adalah representasi dari seorang yang istimewa dan menawarkan keistimewaan itu kepada para manusia di zamannya dan setelahnya.
Hal itu tak lepas dari pendapat-pendapatnya yang banyak dinukil dan dijadikan pegangan para ulama setelahnya. Bahkan sampai ada kitab yang secara khusus menghimpun pendapatnya, yaitu, “Fatawa al-Qaffal.”
Diantara pendapatnya yang terkenal ialah bolehnya seseorang yang bermazhab al-Syafi’i bermakmum kepada imam yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya. Pendapat tersebut jelas berselisih dengan ulama’ Syafi’iyah yang rata-rata tidak membolehkan.
Last but not least, sekali lagi jangan sampai kesulitan dan kepayahan kita dalam belajar berujung pada ketidakberdayaan dan keputusasaan dalam hidup kita. Tak perlu insecure jika belum bisa. Tak perlu angkuh bila segala hal mampu kita taklukkan. Kisah di atas mengajarkan kita, bahwa kesuksesan bukan mutlak berawal dari otak yang cerdas saja, tetapi kesungguhan niat, tekad, dan aksi nyata tentunya juga mempunyai peranan yang sangat dahsyat lagi menentukan dalam meraih kesuksesan. Wallahu a’lam.