Banjarejo, sebuah desa di Malang Selatan, merupakan sebuah perkampungan dengan jumlah pesantren yang cukup banyak. Masa kecil saya sering ke sana dan yang paling ingat adalah sebutan Langgar Tinggi, yang saat ini berganti nama menjadi Masjid Hasbullah.
Ada banyak kiai sepuh di sana, diantaranya KH Nahrowi yang pernah nyantri ke Syaikhona Kholil, Bangkalan. Beliau menjumpai gurunya tidak lama, kemudian Syaikhona Kholil wafat. Kiai Nahrowi masih melanjutkan ke menantunya, yakni Kiai Muntaha.
Beliau memiliki putra, di masa kecilnya bernama Husnan yang kelak menjadi KH Saiful Bari. Membaca sejarah beliau sejak muda mencari ilmu ke Sidogiri tidak terlalu jauh usianya dengan Mas Nawawi dan Mas Abdul Alim, keduanya Putra KH Abdul Jalil. Di masa itu Kiai Saiful muda berkhidmah untuk putra kiai-kiai Sidogiri. Setelah melanjutkan ke Pondok Ploso dengan harapan bisa lebih banyak mengaji, ternyata beliau berjumpa dengan Gus Miek dan juga berkhidmah untuk putra kiainya.
Secara lahiriyah belum terlihat keilmuan Kiai Saiful Bari. Namun ketika akan dinikahkan Kiai Saiful Bari sempat menolak, namun ayahnya, Kiai Nahrowi dawuh: “Kamu kira, dengan menikah, semua yang berurusan dengan tholabil ilmi akan terhenti? Tidak, Nak! Mencari ilmu itu tidak ada batasnya. Dianjurkan mulai dari dalam rahim sampai ke liang lahat. Tidak ada alasan berhenti mengaji atau mencari ilmu hanya karena sudah menikah.” (Hal.63)
Juga dipertegas oleh calon mertuanya, Kiai Anas, yang berkata: “Menantuku orang alim. Menantuku orang alim.” (hal. 96)
Ternyata betul, setelah beliau menikah dan mulai mengajar, melanjutkan dengan mendirikan pesantren, kecintaan beliau kepada kitab untuk mengaji tidak pernah lepas hingga menjelang wafatnya.
Saat pengajian saya sering menyampaikan tiga model sahabat yang mencari ilmu kepada Nabi. Ada yang menghafal seperti Abu Hurairah. Ada juga yang menulis, yakni Abdullah bin Amr. Dan ada lewat jalur barokah, yakni Anas bin Malik yang berkhidmah kepada Nabi dan keluarganya. Maka Kiai Saiful Bari ini menjadi orang alim lewat jalur barokah.
Saya sangat terkesan dengan epilog buku biografi KH Saiful Bari yang ditulis dengan bahasa yang ringkas tapi mendalam tentang sosok gurunya “KH Saiful Bari adalah sosok yang mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar ajaran, melainkan napas kehidupan. la adalah Sang Guru yang tak pernah berhenti mengaji meski tubuhnya rapuh, semangatnya tak pernah padam di antara derai sakit dan sunyi malam, ilmunya terus mengalir, menanamkan cahaya di hati para santri hingga akhir hayatnya”.
Discussion about this post