Bukan pertama kali Gus Ulil Abshar Abdalla menjadi sorotan publik soal tambang. Bulan Januari awal tahun ia dikecam akibat pernyataannya mengenai “sogokan hasanah” dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan. Dalam forum itu dibahas pemberian konsesi tambang dari pemerintah terhadap ormas dan perguruan tinggi. Pernyataan Gus Ulil memantik respon beragam kalangan, terutama internal Nadhliyin. Beragam kalangan kecewa lantaran tokoh Nadhliyin itu terkesan mengabaikan konteks dan menggunakan pendekatan pragmatis sebagai argumen fikih “sogokan hasanah”. Kendatipun, argumentasi itu dikatakan sah namun dinilai menyederhanakan konsepsi fikih di ruang publik.
Ini menjadi bahaya sebab masyarakat luas tak bisa dengan mudah memahami kerangka berpikir setara untuk membangun ruang diskusi sehat. Dan adu pikiran pun meletus.
Tak sampai di situ. Pernyataan Gus Ulil kembali memantik semarak diskusi. Dalam sepekan terakhir, potongan video Gus Ulil dan tokoh muda pengamat lingkungan, Iqbal Damanik, juru kampanye Greenpeace di Kompas TV, menjadi viral di sosial media. Kecaman netizen meledak bagai bom dari berbagai penjuru. Anggapan bahwa NU sudah jauh dari khittah pun tak henti-henti diungkit. Betapa NU—dalam konteks ini PBNU—terkesan hanya menjadi ruang pergolakan kepentingan politik praktis semata. Kesan itu pun menarik perhatian, menuai penolakan, dan perdebatan lebih luas di kalangan intelektual Nahdliyin.
Gus Nadirsyah Hosen, akademisi NU, profesor kenamaan di Melbourne, turut menulis catatan kontras terhadap pernyataan Gus Ulil Abshar Abdalla di platform X. Sejak tayang per tanggal 18 Juni, catatan kontras itu sudah dilihat sebanyak 130 ribu. Gus Nadir menyoroti pernyataan Gus Ulil bahwa penambangan adalah hal baik karena membawa maslahat dan yang buruk hanyalah bad mining, sejatinya upaya penyederhanaan problematika yang kompleks.
“Memang benar bahwa dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, setiap aktivitas yang membawa kemaslahatan publik (maṣlaḥah ‘āmmah) dapat dibenarkan. Namun, penambangan bukan sekadar perkara teknis antara “baik” dan “buruk”, melainkan melibatkan soal ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, dan pelanggaran hak masyarakat lokal. Selama hal-hal ini tidak diperbaiki, yang kita saksikan adalah bad mining. Dan selama hal-hal ini masih dibiarkan, maka tidak elok menormalisasi pertambangan dengan klaim normatif-abstrak,” tulis Gus Nadirsyah.
Tak berhenti di situ. Hengki Ferdiansyah menulis artikel di islamidotco, didirikan oleh Savic Ali, Ketua PBNU Bidang Media IT dan Advokasi. Ia mencoba membandingkan Kaul Qadim dan Kaul Jadid PBNU dari masa ke masa soal tambang dan memperoleh respon positif di instagram islamidotco setelah diupload ulang sebagai reaksi atas pernyataan Gus Ulil.
Tulisan Hengki Ferdiansyah yang lain, ditulis sejak Juli 2024, berjudul, “Membedah Hujjah Fikih Tambang Ulil Abshar Abdalla” tersebut menjadi relevan untuk dipahami masyarakat luas dalam melihat duduk perkara pernyataan Gus Ulil. Hengki Ferdiansyah menekankan tentang kemaslahatan PBNU soal tambang yang seharusnya memperhatikan proses transisi energi, ketimbang ikut andil dalam pengelolaan tambang.
Sementara itu, Roy Murtadho, aktivis lingkungan yang juga Koordinator dari Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), turut aktif memberi banyak tanggapan melalui cuitannya di sosial media. Misalnya sejak 13 Juni 2025 hingga 18 Juni 2025. Sekitar 10 cuitannya menyinggung sekaligus mengkritisi posisi PBNU terhadap pengelolaan tambang. Ia juga menyinggung salah satu laporan dari UN sebagai reaksi atas pernyataan “Wahabi Lingkungan”, istilah yang dilontarkan Gus Ulil.
Ada pula Ali Zainal Muhammad, konten kreator dengan fokus pembahasan fikih kontemporer, menyatakan kekecewaannya lewat intsagram pribadi terhadap Gus Ulil sebagai representasi PBNU yang, seolah-olah, tidak menampilkan corak dan kekhasan intelektualitas.
Pada dasarnya respons intelektual Nahdliyin bukan sekadar ekspresi kekecewaan emosional. Ia bisa menjelma bentuk artikulasi wacana alternatif. Mulai dari beragam tafsir hingga kritik struktur relasi kuasa, oligarki, dan lingkungan. Kehadiran cuitan ringan Roy Murtadho, kajian Hengki Ferdiansyah, dan catatan Gus Nadir menunjukkan diskursus fikih sosial tak lagi dimonopoli elit pusat, melainkan juga digerakkan arus dari bawah. Dan beragam wacana yang hadir ini patut disambut serius sebagai refleksi pemikiran produktif.
Sebab sebelumnya, munculnya keberatan publik terhadap Nahdlatul Ulama di media sosial—mulai dari isu pelecehan di lingkungan pondok pesantren, takdzim yang salah arah pun salah wajah, penggambaran figur Gus dan Kiai yang tak menampilkan semangat egaliter, hingga puncaknya kontroversi tambang—jelas menjadi titik tolak bagaimana figur-figur Nahdliyin sudah tak lagi diam dengan dalih “Manut Yai” atau “Husnudzan” atas keputusan-keputusan PBNU maupun masalah-masalah dalam tubuh NU itu sendiri.
Walau betul apabila membaca dengan serius—tak jarang isu-isu kontroversial di permukaan dikemas dengan framing berlebihan. Oleh karena itu, gejolak yang hadir dalam bentuk diskusi perlu selalu eksis. Dalam arti bahwa perbedaan wacana ini baiknya disambut gembira sebagai tanda sehatnya ruang berpikir dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Ini bukan sekadar perang narasi, melainkan bagian dari proses redefinisi relasi antara warga Nahdliyin dan otoritas keagamaan yang selama ini cenderung satu arah, satu suara.
Dalam benturan gagasan inilah kecintaan terhadap NU justru menunjukkan karakter diri melalui keberanian bertanya, mengkritik, dan merumuskan kembali arah tujuan bersama.
Maka dapat dipahami. Kritik terhadap Gus Ulil adalah momen penting yang menunjukkan otoritas keagamaan NU tak bersifat absolut. Retaknya otoritas yang terbaca akibat dinamika politik nasional bukan berarti hancurnya kepercayaan, tetapi mengindikasikan lahirnya relasi baru yang lebih egaliter, dialogis, dan terbuka terhadap koreksi. Ini terlihat dari bagaimana warga Nahdliyin, baik akademisi, aktivis, maupun konten kreator kemudian berani mengajukan hujjah mereka sendiri. Keberanian tampil di sosial media dan menghadirkan gejolak pertentangan wacana inilah menjadi bagian wujud kecintaan mereka dalam upaya menjaga marwah jam’iyah. Juga negara kepulauan tercinta, Indonesia.
Discussion about this post