Masyarakat memberi gelar pada seseorang dengan gelar kiai, karena yang bersangkutan adalah muslim yang terpelajar, perilakunya mencerminkan akhlakul karimah, bisa diteladani, dan memimpin masyarakat untuk mewujudkan cita – cita masyarakat muslim menjadi masyarakat yang Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghafur.¹ Maka dalam pembahasan kali ini penulis akan mengupas sosok KH. Abdul Halim Rohman. Salah satu santri Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian merintis pesantren MHI (Mamba’ul Khoiriyatil Islamiyah) di kecamatan Bangsalsari, Jember, Jawa Timur.
Abdul Halim Rohman atau Kiai Halim lahir pada tahun 1917 di Desa Dukuh Dempok, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember dari pasangan H. Abdur Rohman dan Ibu Sudakem. Awal perjalanan menimba ilmunya dimulai pada tahun 1935 ketika masih berusia 18 tahun dengan nyantri pada sebuah pesantren di Dusun Kebonsadeng, Desa Kemuningsari, Kecamatan Jenggawah. Di sini beliau hanya nyantri sebentar karena tidak betah. Kemudian beliau melanjutkan rihlahnya ke pesantren AIDA (Awwalu Ihya’ Daril Amanah) Bangsalsari yang diasuh dan didirikan oleh KH. Muhammad Kholil Ghozali selama dua tahun.
Setelah dari pesantren tersebut, Kiai Halim mendalami ilmu agama kembali di pesantren Tebuireng, yang kala itu masih diasuh oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Kepada Ulama’ Hadits dan Rais Akbar Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’ tersebut, Kiai Halim menimba ilmu selama 4 tahun lamanya sampai tamat dan di sana Kiai Halim bertemu dengan KH. Jauhari Kencong, salah satu kakak tingkatnya yang sama-sama berasal dari Jember.
Tamat dari Tebuireng, beliau meneruskan rihlahnya ke Pesantren Tremas, Pacitan yang kala itu diasuh oleh KH. Abdul Hamid bin Dimyathi bin Abdulloh. Di pesantren tanah kelahiran Syaikh Mahfudz At Tarmasi Al Makki ini beliau nyantri dalam kurun waktu 6 tahun lamanya. Sebelum boyong, beliau diberi pesan oleh Kiai Dim Termas agar tabarukkan menimba ilmu di Pesantren Cemoro, Songgon, Banyuwangi terlebih dahulu sebelum terjun menyebarkan ilmu di masyarakat. Kala itu pesantren tersebut diasuh oleh seorang Ulama’ Ahli Qur’an yang bernama KH. Abdullah Faqih. Di pesantren tersebut Kiai Halim tidak sampai setahun nyantri dikarenakan dijemput oleh KH. Kholil Ghozali untuk kembali ke pesantrennya. Akhrinya kembalilah beliau di Pesantren AIDA Bangsalsari, Jember.²
Ternyata dijemputnya beliau dari pesantren Cemoro oleh sang guru memiliki makna bahwa Kiai Halim akan diambil menantu oleh Kiai Kholil Bangsalsari dan beliau dinikahkan dengan salah satu putrinya yang bernama Ny. Hj. Siti Ruqoyyah. Dari pernikahan tersebut lahirlah 10 keturunan yang terdiri dari 6 putra dan 4 putri yang kini meneruskan estafet kepemimpinan di Pesantren MHI.
Dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari sebelum Kiai Halim merintis Pesantren MHI, dahulunya beliau berdagang tembakau di beberapa pasar. Barulah menginjak tahun 1951, beliau mulai fokus merintis sebuah pesantren dengan tiga pilihan tempat yang akan menjadi cikal bakalnya; pertama adalah tanah milik saudara beliau di Dukuh Dempok; kedua tanah di daerah Gumukmas, Jember yang merupakan tanah hibah milik orang tua temannya ketika di pondok Tremas; dan yang ketiga adalah tanah di daerah Bangsalsari dekat sungai yang merupakan hibah dari H. Abdullah dan separuh ketimur merupakan hibah dari H. Ibrohim.
Setelah melakukan istikharah dan perhitungan yang matang, akhirnya Kiai Halim mengambil kesempatan yang ketiga dengan dalih tanah tersebut bagus untuk pendirian sebuah lembaga pendidikan, meskipun dengan resiko akan keangkeran tanah tersebut dan ketenaran tempat tersebut sebagai sarang para perampok dan penjahat. Mendengar kesepakatan beliau ini, H. Thohir yang merupakan warga sekitar lalu memberikan tanahnya di sebelah utara guna didirikan sebuah pesantren.
Awal mula pembangunan pesantren MHI ini cukup sederhana, satu bangunan asrama telah rampung dibangun beserta dengan masjid dan kediaman beliau yang kala itu terbuat dari anyaman bambu atau gedek. Menginjak di tahun 1952, para santri mulai berdatangan untuk menimba ilmu kepada Kiai Halim dan beliaupun menamai pondoknya dengan nama “Mamba’ul Khoiriyatil Islam” yang bermakna sumber kebaikan agama Islam. Meskipun sudah dikatakan tenar sebagai salah satu Ulama’ di Bangsalsari, Jember, hal tersebut tidak menyurutkan semangat beliau untuk menimba ilmu kembali. Menurut penuturan Agus Danial Reza, sosok kakeknya ini meskipun sudah berkeluarga dan memiliki pesantren dengan jumlah santrinya yang kala itu mencapai ratusan, hal itu tidak menjadikan beliau gengsi untuk menimba ilmu kembali, yang pada saat itu beliau selalu meluangkan waktunya guna belajar ilmu falak / ilmu astronomi kepada KH. Abdul Hannan, Tanggul, Jember dengan mengendarai dokar.
Menurut Agus Baba Nahel yang merupakan cucu Kiai Halim dari putra ketiganya yang bernama KH. Ahmad Zamroji Halim, sosok sang kakek berdasarkan cerita tutur dari abahnya dan para alumni sepuh, Kiai Halim dikenal sebagai figur Ulama’ yang tidak pernah memukul anak didiknya baik secara verbal atau fisik, bahkan senakal apapun santrinya beliau tidak pernah memukul. Selain itu, beliau dikenal sebagai salah satu Ulama’ yang produktif menulis, kegemaran ini beliau asah semenjak nyantri di Tebuireng dan Termas.
Dari jari-jemarinya lahirlah beberapa karya diantaranya, Alfiyah Bahiyah (Seribu Bait yang disarikan dari Qawaid Fiqhiyah dalam kitab Asybah-nya Imam Suyuthi), Qawaid An-Nahwiyah (fan Nahwu), Fawaid Al-Mardhiyah (fan Sharaf), Khalasah Al-Miqod (ilmu Falak/ Astronomi), Hidayah Al-Athfal (Sharaf yang membahas bab I’lal secara rinci), Tuhfah As-Saniyah (ilmu tata cara mengarang sya’ir), Minhaj Al-Muwafiq (ilmu mantiq), Safinah Al-Gawamid (ilmu waris), Qawa’idul ‘Irab, dan Arudh.
Menginjak tahun 1985, Kiai Halim sudah berumur lanjut dan sering sakit-sakitan sehingga mengharuskan kegiatan belajar mengajar dan roda kepengurusan pesantren serta lembaga pendidikan di MHI diserahkan kepada putra-putrinya dan beliau hanya bertindak sebagai pengaswas jalannya kebijakan pesantren.
Kiai Halim berpulang ke hariban Ilahi pada usia 72 tahun di hari Rabu Pon, bertepatan tanggal 26 Shafar 1410 atau 27 September 1989. Semoga sumbangsih ilmu yang beliau ajarkan menjadi amal jariyah yang berguna bagi keluarga, para santri, dan ummat Muslim seluruhnya. Amiin Allahumma amiin…